Dalam konteks ekonomi syariah, penting untuk memahami konsep mengelola modal dengan benar. Salah satu pertimbangan utama adalah apakah praktik seperti mudharabah atau bagi hasil ternak sapi sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
Pada dasarnya, untung rugi dalam mengelola modal dapat diukur dari perbandingan antara hasil usaha dengan modal dan biaya pengelolaan yang dikeluarkan. Jika hasil lebih besar daripada modal dan biaya, maka disebut sebagai untung. Sebaliknya, jika nilai modal dan biaya lebih besar dari hasilnya, maka dapat dianggap sebagai kerugian.
Dalam akad permodalan seperti mudharabah, hasil usaha yang diperoleh dari selisih harga jual barang setelah dikelola dibandingkan dengan harga asalnya menjadi titik fokus. Namun, penting untuk memperhatikan kejelasan nilai modal dan keuntungan yang akan dibagi agar tidak menimbulkan unsur penipuan yang merugikan salah satu pihak.
Sebagai solusi, ada model akad mudharabah yang melibatkan pemodal menyerahkan sapi betina dengan harga beli tertentu, kemudian hasil penjualan sapi dan anak sapi dibagi sesuai kesepakatan nisbah antara kedua pihak. Namun, kendala sering muncul dalam pelaksanaannya karena preferensi penggunaan ‘urudl (barang materiel) sebagai modal.
Mayoritas ulama sepakat bahwa modal sebaiknya dalam bentuk angka riil untuk menghindari ketidakjelasan nilai barang yang dapat menyebabkan gharar (ketidakpastian). Oleh karena itu, disarankan agar modal diserahkan dalam bentuk uang agar kedua pihak dapat membeli sapi secara transparan di pasar.
Dengan demikian, perhitungan untung rugi dalam akad mudharabah dengan modal uang untuk membeli sapi dapat dilakukan dengan memperhitungkan harga beli sapi sebagai modal awal, harga jual sapi sebagai kumpulan dari untung dan modal, serta pembagian keuntungan sesuai nisbah yang disepakati.
Dalam prakteknya, penting untuk menjaga kejelasan nilai modal dan keuntungan serta menghindari unsur penipuan agar akad mudharabah dapat berjalan dengan adil dan sesuai dengan prinsip ekonomi syariah.