Di beberapa daerah di Indonesia, sering kita jumpai para pengemis dengan berbagai metode yang berbeda. Mulai dari penampilan sebagai pengemis dengan kondisi yang memprihatinkan, hingga pura-pura menjadi penyandang disabilitas. Mereka dapat ditemui di berbagai tempat seperti lampu merah, tempat wisata, rumah-rumah, dan tempat ziarah. Penampilan mereka yang beragam sering kali mempengaruhi simpati orang lain, yang kemudian memberikan bantuan kepada mereka.
Namun, bagaimana jika pengemis tersebut melakukan kepura-puraan dalam aksi meminta-minta, misalnya dengan menyamar sebagai penyandang disabilitas? Jika seseorang memberikan bantuan karena iba terhadap kondisi yang dipertontonkan pengemis, maka menerima uang tersebut dianggap haram. Begitu pula jika seseorang meminta sumbangan untuk keperluan tertentu namun tidak sesuai dengan peruntukannya.
Selain itu, jika seseorang memberikan donasi bukan atas dasar ikhlas, melainkan karena rasa malu, hal tersebut juga termasuk praktik yang tidak dianjurkan. Penerimaan uang dengan motif ‘malu’ bisa dikategorikan sebagai tindakan yang tidak sah dan tidak halal.
Lebih lanjut, jika praktik pengemis tersebut menciptakan teror atau ancaman atas keselamatan seseorang, seperti yang sering terjadi di daerah tertentu, maka hal tersebut juga dianggap haram. Situasi ini setara dengan menerima uang dari eksploitasi rasa malu atau ancaman, yang memiliki konsekuensi hukum yang sama dengan tindakan ghasab.
Dalam Islam, menjadi pengemis bukanlah solusi dalam keadaan yang tidak mendesak. Praktik meminta-minta dengan cara yang tidak benar dapat mengakibatkan harta yang diterima menjadi haram. Oleh karena itu, penting untuk memahami hukum-hukum terkait dalam menerima dan memberi bantuan agar transaksi tersebut sah dan halal di mata agama.