Inden dalam konteks jual beli merupakan sebuah konsep yang memiliki kedalaman makna dalam perspektif syariah. Secara leksikal, inden merujuk pada pembelian barang dengan cara memesan dan melakukan pembayaran terlebih dahulu. Namun, dalam praktiknya, inden dapat dibagi menjadi dua kategori utama berdasarkan pemahaman akan barang yang akan dibeli.
Pertama, terdapat jual beli barang yang sudah pernah dilihat oleh pembeli atau yang belum pernah dilihat namun pembeli familiar dengan tipe barang sejenis sebelumnya. Kedua, ada jual beli barang yang benar-benar belum pernah dilihat oleh pembeli dan tidak ada di tempat penjualan. Dalam hal ini, penting untuk memahami bahwa baik barang “belum ada” maupun “tidak ada” menunjukkan suatu keghaiban yang menjadi fokus dalam akad jual beli.
Para ulama dari empat mazhab sepakat bahwa jual beli dengan konsep pesan (salam) dapat diterima, dengan syarat-syarat tertentu. Misalnya, pembeli harus mengetahui ciri dan spesifikasi barang dengan jelas serta memiliki opsi pembatalan jika spesifikasi barang yang diterima tidak sesuai dengan yang ditawarkan. Selain itu, barang yang sudah ada di tempat penjual dianggap sah untuk diperjualbelikan, sementara untuk barang yang belum ada, penjual perlu mendapatkan izin dari pemilik barang sebelumnya.
Di sisi lain, istishna’ merupakan akad pesan perakitan barang yang merupakan pengembangan dari jual beli salam. Dalam istishna’, penting untuk memastikan bahwa ciri barang diketahui dan penjual menjamin kehadiran barang sesuai dengan pesanan. Akad ini sering digunakan dalam pesanan perakitan seperti pesawat terbang atau proyek pembangunan.
Dengan demikian, inden sebagai konsep jual beli tidak dapat disalahartikan sebagai tindakan yang terlarang dalam syariat. Penting untuk memahami syarat-syarat dan prinsip-prinsip yang mengatur inden agar transaksi jual beli dapat dilakukan dengan penuh kejelasan dan keadilan sesuai dengan ajaran syariah.