Pemasungan dan pembelengguan terhadap orang dengan gangguan mental dan fisik masih merupakan permasalahan yang hadir di berbagai daerah di Indonesia. Meskipun angka kejadian pemasungan mengalami penurunan, tindakan ini masih sering dilakukan oleh sebagian masyarakat.
Menurut laporan Human Right Watch (HRW), data dari Direktorat Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan RI menunjukkan penurunan jumlah kasus pemasungan dari tahun ke tahun. Meskipun demikian, praktik pemasungan ini tidak hanya terjadi pada penyandang disabilitas mental, tetapi juga menyasar penyandang disabilitas fisik yang seringkali dikungkung di rumah dan kurang mendapat penghargaan dari keluarga.
Pemasungan ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari perawatan di panti sosial, rumah sakit jiwa, hingga pusat rehabilitasi berbasis agama. Hal ini mengakibatkan pembatasan ruang ekspresi dan sosialisasi bagi penyandang disabilitas baik mental maupun fisik.
Dari sudut pandang ajaran Islam, praktik pemasungan dan pembelengguan ini dianggap sebagai bentuk diskriminasi dan pengasingan sosial yang tidak diperbolehkan. Ayat dalam Al-Qur’an menegaskan pentingnya memberikan perlakuan yang sama dan menghormati hak-hak sosial bagi penyandang disabilitas.
Penting untuk menghapus stigma dan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas, serta memulai langkah-langkah inklusi sosial dari lingkungan terdekat seperti keluarga, tetangga, dan masyarakat sekitar. Memberikan perlakuan yang sama dan hak yang adil bagi penyandang disabilitas, baik mental maupun fisik, merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh seluruh elemen masyarakat.
Dengan demikian, upaya untuk mengakhiri praktik pemasungan dan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas merupakan langkah penting dalam membangun masyarakat yang inklusif dan menghormati hak asasi setiap individu.