Momen Idul Fitri tak lepas dari esensi maaf-memaafkan. Dalam kehidupan masyarakat, tindakan meminta maaf menunjukkan sikap ksatria yang mengakui kesalahan kepada orang lain. Proses meminta maaf membutuhkan keberanian untuk mengakui kesalahan, sementara memberi maaf juga tidaklah mudah karena memerlukan kelapangan dada untuk menerima maaf dari orang yang pernah menyakiti.
Pertanyaan muncul, apakah ada tindakan yang lebih mulia daripada maaf (al-afwu)? Al-Qur’an mengajarkan bahwa selain dari maaf, terdapat tingkatan yang lebih tinggi yaitu al-shafhu. Al-shafhu, yang berasal dari kata kelapangan, mengajarkan untuk melapangkan dada agar bisa menerima segala ketersinggungan dan membuka lembaran baru dalam hubungan antar sesama.
Menurut Muhammad Quraish Shihab, al-shafhu yang diwujudkan melalui berjabat tangan memiliki nilai yang lebih tinggi daripada memaafkan. Hal ini karena membuka lembaran baru menjadi langkah penting dalam mencapai kesucian dan kembali kepada fitrah manusia.
Memaafkan bukanlah hal yang sepele, namun merupakan proses menghapus bekas luka di hati. Sebuah tindakan maaf sejati tidak akan meninggalkan dendam di hati, melainkan mampu menghilangkan segala noda dan luka yang ada. Syariat Islam mengajarkan bahwa meminta maaf harus disertai dengan penyesalan, tekad untuk tidak mengulangi kesalahan, dan mengembalikan hak yang pernah diambil.
Taubat juga merupakan bagian penting dalam proses meminta maaf. Taubat menuntut penyesalan yang mendalam atas segala kesalahan yang dilakukan, bukan hanya dalam hubungan dengan Tuhan, tetapi juga dalam perilaku sosial di masyarakat. Allah pun tidak akan mengampuni dosa seseorang jika ia belum meminta maaf kepada orang yang bersangkutan.
Keseimbangan antara meminta maaf kepada sesama manusia dan kepada Tuhan menjadi kunci dalam meraih kebaikan baik di dunia maupun di akhirat. Momen Idul Fitri bukan hanya sekadar tradisi, namun juga merupakan ajang untuk meneguhkan sikap ihsan dan memperbaiki hubungan sosial dengan lingkungan sekitar.