Bekicot, atau dalam istilah Arab dikenal sebagai halzun, adalah salah satu hewan yang sering ditemukan di tempat-tempat yang lembab. Hewan ini memiliki ciri khas tempurung yang berfungsi sebagai perlindungan. Belakangan, penjualan daging bekicot, terutama dalam bentuk sate, semakin ramai di masyarakat. Respons terhadap fenomena ini beragam. Ada yang membeli dan mengonsumsinya tanpa memperhatikan status kehalalannya, ada yang tidak membeli karena belum mengetahui kehalalannya, dan ada pula yang memandangnya sebagai sumber penghasilan.

Menurut pandangan hukum Islam, mengonsumsi bekicot termasuk dalam kategori haram. Para ulama menganggap bekicot sebagai hewan yang menjijikkan. Dalam kitab Hayat al-Hayawan al-Kubra, dijelaskan bahwa bekicot hidup di dalam tempurung keras, dan hukumnya diharamkan.

Dalam mazhab Syafi’i yang banyak dianut di Indonesia, menjual dan mengonsumsi bekicot dianggap haram. Pendapat ini didasarkan pada pandangan bahwa tindakan tersebut dapat mendorong orang lain untuk melakukan hal yang terlarang.

Meskipun dalam mazhab Maliki terdapat pandangan yang memperbolehkan mengonsumsi bekicot dalam keadaan tertentu, sebaiknya umat Islam tetap mengikuti pendapat mazhab yang dianutnya agar tetap konsisten dalam menjalankan ajaran agama. Hal ini juga mencerminkan sikap adaptif terhadap nilai-nilai masyarakat sekitar.

Dalam keadaan terdesak di mana tidak ada alternatif makanan lain, barulah boleh dipertimbangkan untuk mengonsumsi bekicot. Namun, prinsip utamanya tetap menjauhi makanan yang diharamkan dalam ajaran agama.

Penting bagi umat Islam untuk memahami pandangan hukum Islam terkait konsumsi bekicot dan menjaga konsistensi dalam menjalankan ajaran agama sesuai dengan mazhab yang diyakini. Semoga artikel ini dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai perspektif hukum Islam terhadap konsumsi bekicot.