Pada saat melakukan perjalanan jauh, qashar shalat menjadi salah satu keringanan yang diperbolehkan bagi umat Islam. Menurut Syekh Muhammad Amin Al-Kurdi dalam Kitab Tanwirul Qulub, jarak minimal untuk mengqashar shalat adalah sekitar 80,6 kilometer. Ketika jarak perjalanan melebihi batas tersebut, maka seseorang diperbolehkan untuk mengqashar shalatnya.
Dalam konteks ini, seringkali muncul situasi di mana seseorang yang sedang bepergian mengalami kendala dalam melaksanakan shalat sesuai waktu yang telah ditentukan. Hal ini bisa disebabkan oleh jadwal yang tidak menentu atau faktor lainnya. Sehingga, shalat yang seharusnya dapat dijamak dan diqashar saat dalam perjalanan, akhirnya harus dilaksanakan sebagai qadha ketika tiba di rumah karena waktu shalat telah terlewat.
Terkait dengan hal ini, terdapat perbedaan pandangan dalam Mazhab Syafi’i. Pendapat pertama dari qaul qadim menyatakan bahwa seseorang diperbolehkan untuk mengqadha shalat dengan cara diqashar ketika sudah tiba di rumah. Pendapat kedua dari qaul jadid menolak pemikiran ini, dengan alasan bahwa keringanan mengqashar shalat hanya berlaku saat dalam keadaan bepergian dan hilang saat tidak lagi dalam perjalanan.
Dalam konteks mengqadha shalat yang dapat diqashar saat masih dalam perjalanan, juga terdapat perbedaan pendapat di antara ulama. Namun, umumnya pendapat yang lebih tepat adalah bahwa mengqadha shalat yang terlewat saat dalam perjalanan sebaiknya dilakukan tanpa qashar ketika masih dalam keadaan bepergian.
Dengan demikian, berdasarkan pendapat qaul jadid dalam Madzhab Syafi’i, disimpulkan bahwa mengqadha shalat yang dapat diqashar ketika berada di rumah atau tempat tujuan sebaiknya dilakukan tanpa qashar. Setiap perbedaan pendapat dalam hal ini sebaiknya diambil berdasarkan pendapat yang lebih memihak pada pendapat qaul jadid.