Di era kekhalifahan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah, sumber pendapatan negara sangat erat hubungannya dengan stratifikasi masyarakat. Stratifikasi ini terbentuk sebagai konsekuensi logis dari upaya perluasan wilayah koloni Islam dan masuk dalam bagian yang dikuasai oleh kekhalifahan kala itu.
Hikmah dari perluasan dan pendudukan wilayah ini adalah berjalannya sistem manajemen keuangan dan publik. Wilayah di bawah kekuasaan kekhalifahan secara umum dibagi menjadi wilayah Arab dan wilayah non-Arab yang menjadi koloni.
Untuk wilayah Arab, tanahnya dianggap sebagai tanah usyur. Besaran usyur untuk wilayah ini sudah ditetapkan sendiri oleh Rasulullah SAW. Sedangkan untuk wilayah non-Arab, berlaku ijtihad baru yang pertama kali diawali pada periode kekhalifahan Umar ibn Khathab.
Di masa kekhalifahan Umar, terdapat kebijakan yang membedakan tanah unwah (dari jalan peperangan) dengan tanah sawad (dari jalan damai). Tanah unwah dikenai kharaj dan usyur, sementara tanah sawad hanya dikenai usyur.
Kebijakan ini terus berlangsung hingga masa Daulah Abbasiyah, di mana diterapkan sistem muqâsamah (bagi hasil) terhadap tanah yang sebelumnya dikenai al-kharaj. Khalifah al-Manshûr bahkan menetapkan kharaj sebesar 1/3 hasil untuk tanah yang diairi irigasi dan ¼ bagi tanah yang diairi dengan irigasi artifisial.
Secara umum, pada masa Umar ini telah berlaku tiga klasifikasi tanah dan sistem perpajakannya:
- Wilayah yang sudah masuk Islam sejak masa Rasulullah SAW, berlaku al-‘usyur.
- Wilayah yang ditaklukkan melalui jalan perang, tanah unwah dikenai al-kharaj dan al-usyur.
- Wilayah yang masuk dalam kekuasaan kekhalifahan dengan jalan damai, tanah sawad hanya dikenai usyur atau kharaj shulhi.
Kebijakan ini mengundang kontroversi dan perdebatan di kalangan sahabat serta menimbulkan pertentangan selama beberapa waktu lamanya.