Bulan Desember seringkali menjadi bulan yang kompleks dalam menjalankan prinsip toleransi yang sesuai dengan ketentuan syariah. Beberapa hal yang sering menjadi perdebatan adalah hukum mengucapkan selamat Natal, hukum menjaga gereja, hingga hukum memakai atribut Natal.
Dalam konteks memakai atribut Natal, hal ini sering kali menimbulkan pertanyaan apakah hal tersebut termasuk dalam ranah toleransi yang masih diperbolehkan oleh syariah, atau justru merupakan bentuk toleransi yang berlebihan. Seorang Muslim ketika memakai atribut Natal bisa dianggap menyerupai non-Muslim dalam hal busana, yang sebenarnya merupakan larangan dalam syariah.
Menurut penjelasan dari kitab Bughyah al-Mustarsyidin, memakai atribut Natal dapat menjadi masalah jika ada niatan untuk menyerupai agama yang merayakan Natal. Hal ini dikategorikan sebagai perbuatan yang tidak diperbolehkan dalam syariah.
Seorang Muslim, terutama orang awam, sebaiknya tidak ikut-ikutan merayakan hari raya non-Muslim dengan memakai atribut yang menjadi ciri khas mereka. Hal ini dapat menggerus identitas umat Islam yang seharusnya tetap menjaga prinsip dalam segala tindakannya.
Namun, masalah muncul ketika pemakaian atribut Natal menjadi keharusan bagi karyawan di beberapa tempat kerja tertentu. Meskipun diwajibkan oleh aturan perusahaan untuk menarik perhatian pelanggan non-Muslim, seorang karyawan Muslim sebaiknya tetap menolak pemakaian atribut Natal. Ancaman pemotongan gaji atau pemecatan tidak dapat melegalkan pemakaian atribut Natal dalam pandangan syariah.
Dalam kasus seperti itu, seorang karyawan Muslim harus tetap teguh menolak pemakaian atribut Natal, meskipun harus menanggung segala resikonya. Ketaatan dalam menjauhi larangan syariah akan mendatangkan balasan yang lebih baik di kemudian hari.