- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Penjagaan Gereja: Perspektif Hukum dan Kemanusiaan

Google Search Widget

Menginjak bulan Desember, topik penjagaan gereja kembali menjadi sorotan yang hangat dalam masyarakat. Perdebatan seputar sikap ormas yang turut serta dalam pengamanan gereja menjadi perbincangan tahunan yang tak kunjung padam. Namun, sebelum terjebak dalam arus kritik atau dukungan tanpa dasar, penting bagi kita untuk memahami landasan hukum yang mendasari tugas menjaga gereja.

Menjaga gereja merupakan isu yang sering kali memancing perdebatan. Sebagian berpendapat bahwa tindakan tersebut dapat dianggap sebagai bentuk i’anah alal ma’siyat, yakni membantu terjadinya kemaksiatan. Mereka berpendapat bahwa upaya menjaga gereja dapat memfasilitasi terjadinya hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Namun, apakah logika ini benar adanya?

Menjaga gereja pada saat perayaan natal atau hari raya non-Muslim sebenarnya tidak seharusnya dipandang hanya dari satu sudut pandang, yaitu sebagai bantuan dalam penyelenggaraan acara non-Muslim. Bahkan, pandangan seperti itu dianggap keliru karena acara tersebut tetap akan berlangsung tanpa kehadiran ormas atau aparat kepolisian. Dalam konteks ini, penjagaan bukanlah pemicu terjadinya kemaksiatan.

Dari penjelasan dalam Buhuts wa Qadhaya Fiqhiyyah Mu’ashirah, kita dapat memahami bahwa i’anah alal ma’shiyat merupakan tindakan yang secara nyata turut berperan dalam terjadinya kemaksiatan dan dilakukan tanpa indikasi untuk tujuan lain selain kemaksiatan. Namun, menjaga gereja tidak termasuk dalam kategori tersebut. Menjaga gereja sebenarnya bertujuan untuk menjaga stabilitas negara dan mempertahankan harmoni sosial, yang merupakan bagian dari kewajiban bersama (fardhu kifayah).

Hal ini didasari oleh kondisi Indonesia sebagai negara dengan beragam suku dan agama, di mana perayaan natal rentan terhadap ancaman keamanan. Menjaga stabilitas keamanan negara merupakan bagian dari fardhu kifayah. Apabila tindakan ini dilakukan atas permintaan pemerintah (aparat penegak hukum), maka anjuran untuk melaksanakannya semakin kuat.

Perlu dipahami bahwa suatu tindakan yang pada pandangan awal dianggap sebagai bantuan terhadap kemaksiatan, sebenarnya ditujukan untuk menghindari kerusakan dan kekacauan. Menurut Qawaidul Ahkam, terkadang diperbolehkan membantu terjadinya dosa, permusuhan, kefasikan, dan kemaksiatan sebagai langkah untuk menghindari kerusakan. Dalam konteks ini, bantuan tersebut bukanlah upaya untuk mendorong kemaksiatan, melainkan untuk mencegah kerusakan.

Dari berbagai sudut pandang dan referensi yang ada, seharusnya kita dapat memahami bahwa menilai tindakan menjaga gereja tidak boleh dilakukan secara dangkal. Tindakan ini sebenarnya merupakan pelaksanaan dari kewajiban bersama yang bertujuan menjaga stabilitas sosial dan keamanan negara.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

August 4

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?