Pada tanggal 6 Desember 2018, sebuah konsep hukum Islam yang menarik tentang batas maslahat dan kerusakan dibahas dalam konteks Fiqih Maqashid. Dalam konsep ini, pentingnya mewujudkan kemaslahatan dan menghindari mafsadah (kerusakan) dalam hukum Islam ditekankan sebagai sesuatu yang wajib.
Izzu al-Din ibn Abdu al-Salâm, seorang tokoh terkenal pada abad ke-13, menyatakan bahwa kemaslahatan masyarakat harus diutamakan. Dalam kitabnya, beliau menjelaskan bahwa upaya mencapai kesejahteraan, seperti pangan dan tempat tinggal, memerlukan kerja keras dan perjuangan. Namun, seringkali kemaslahatan tersebut juga disertai dengan potensi kerugian.
Dalam usaha mewujudkan kemaslahatan, baik Abu Zahrah maupun Izzu al-Dîn ibn Abdu al-Salâm sepakat bahwa riset ilmiah sangat penting. Mereka meyakini bahwa kemaslahatan hanya dapat dicapai melalui dua pendekatan, yaitu berdasarkan teks Al-Qur’an dan hadis, serta pertimbangan akal. Oleh karena itu, keputusan hukum yang dianggap sebagai maslahat haruslah masuk akal, terukur, dan tidak bertentangan dengan nash.
Metodologi pemikiran kemaslahatan menurut Syekh Izzu al-Dîn ibn Abdu al-Salâm dapat disimpulkan menjadi empat langkah: terlihat, ada sebab yang menghasilkan kemaslahatan yang lebih besar, perbedaan antara kedua kemaslahatan tersebut jelas, dan dapat diukur. Pengukuran merupakan kunci dalam menentukan maslahat suatu keputusan.
Sejarah kenabian juga memberikan contoh tentang pentingnya pertimbangan maslahat dalam hukum Islam. Contohnya adalah ijtihad Sayyidina Umar bin Khathab dalam mengubah hukuman potong tangan menjadi hukuman penjara saat kondisi paceklik. Keputusan ini didasarkan pada prinsip kemaslahatan.
Memperhitungkan maslahat dalam mengambil keputusan hukum tidak bertentangan dengan syariat Islam. Sebaliknya, pertimbangan maslahat itu sendiri diwajibkan oleh syariat sebagai bagian integral dari ajaran Islam. Dengan demikian, pemikiran tentang maslahat dalam hukum Islam adalah sebuah kewajiban yang harus dipegang teguh dalam menjalankan syariat.