Isu mengenai Rabu terakhir di bulan Shafar atau lebih dikenal dengan istilah Rebo wekasan bukan merupakan hal yang baru. Banyak perbincangan dan kajian berkaitan dengan isu tersebut, mulai dari sejarah, ritual-ritual atau musibah-musibah yang diasumsikan pada hari tersebut. Salah satu topik yang sering menjadi perdebatan adalah hukum shalat Rebo wekasan dalam pandangan fiqih Islam.
Pada dasarnya, tidak ada nash sharih yang menjelaskan anjuran shalat Rebo wekasan. Oleh karena itu, bila shalat Rebo wekasan diniati secara khusus, misalnya “aku niat shalat Shafar”, “aku niat shalat Rebo wekasan”, maka tidak sah dan dianggap haram. Prinsip kaidah fiqih menyatakan bahwa “Hukum asal dalam ibadah apabila tidak dianjurkan, maka tidak sah.”
Sebagai contoh, ulama mengharamkan shalat Raghaib di awal Jumat bulan Rajab, shalat nishfu Sya’ban, shalat Asyura’, dan shalat kafarat di akhir bulan Ramadhan karena tidak memiliki dasar hadits yang kuat.
Namun, terdapat perbedaan pandangan di antara ulama terkait dengan hukum shalat Rebo wekasan jika diniati sebagai shalat sunah mutlak. Ada yang menyatakan haram seperti Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari dan ada pula yang membolehkannya seperti Syekh Abdul Hamid bin Muhammad Quds al-Maki dengan cara meniatkan shalat tersebut sebagai shalat sunah mutlak.
Penting untuk dicatat bahwa penjelasan terperinci mengenai tata cara dan doa shalat Rebo wekasan dapat ditemukan dalam berbagai referensi seperti Kanz al-Najah wa al-Surur dan al-Jawahir al-Khams. Shalat Rebo wekasan sendiri umum dilakukan di beberapa daerah baik secara berjamaah maupun secara individu.
Ikhtilaf ulama dalam masalah ini adalah hal yang wajar dalam fiqih Islam. Setiap pandangan memiliki argumen yang dapat dipertanggungjawabkan. Perbedaan ini sebaiknya tidak menjadi sumber perdebatan atau konflik, melainkan sebagai bentuk rahmat bagi umat Islam untuk menjalankan ritual agama tanpa melanggar syariat.