Dalam dunia niaga internasional, terutama pada jasa ekspor-impor, prinsip syariah memiliki peran penting dalam menyelesaikan masalah yang timbul. Prinsip syariah menyatakan bahwa barang yang diimpor masih menjadi jaminan eksportir sebelum sampai ke tangan pengimpor.
Sebagai contoh kasus, PT Labuh Sejahtera (LS) sebagai perusahaan importir beras melakukan impor beras sebesar 20.000 ton dari Bangkok International Trading. Pengapalan beras dilakukan dua kali, namun terjadi kasus perompakan kapal pada pengiriman kedua di Selat Makassar.
Nota kesepakatan antara PT LS dan Bangkok International Trading menunjukkan titik penyerahan barang di atas kapal di pelabuhan Bangkok, Thailand. Berdasarkan ketentuan CIF Incoterms 2010, pembeli (PT LS) bertanggung jawab atas kehilangan beras akibat perompakan.
Untuk mengalihkan resiko, pembeli harus meningkatkan pertanggungan asuransi dari ICC “C” ke ICC “A” dengan tambahan biaya. Biaya impor beras meliputi bongkar muat, biaya pergerakan container, bea masuk, PPN, PPh, custom clearance, trucking, dan bongkar di gudang pembeli.
Dalam kasus ini, keberadaan CIF (Cost Insurance and Freight) menjadi hal mendasar. CIF merupakan syarat penyerahan barang terakhir dalam jasa pengangkutan laut. Penjual bertanggung jawab hingga barang berada di atas kapal, setelah itu resiko menjadi tanggung jawab pembeli.
Masalah fiqih yang muncul antara lain mengenai kedudukan perusahaan cargo angkutan, kuasa pertanggungan barang ke pihak asuransi terkait resiko kerusakan atau kehilangan barang akibat perompakan, serta penolakan pertanggung jawaban asuransi oleh pihak asuransi dalam kasus barang hilang akibat perompakan.
Pertanyaan-pertanyaan ini akan diuraikan dari sudut pandang fiqih dalam tulisan-tulisan selanjutnya. Semoga kita senantiasa diberikan kesehatan dan keselamatan serta tetap istiqamah dalam menjalani kajian ini.
