Dalam ajaran Syariat Islam, cara seseorang memperoleh harta dari orang lain memiliki sejumlah ketentuan yang harus dipatuhi. Ada yang dianggap halal (sah) dan ada yang dianggap haram (bathil/tidak sah). Contoh kasus yang sering muncul adalah terkait bagaimana jika seseorang menerima gaji atau barang dari seseorang yang penghasilannya didapat dari cara yang diharamkan dalam Islam.
Syekh Zainuddin al-Malaibary memberikan pandangan bahwa ada tiga batasan agar menerima barang dari orang lain tetap halal, yaitu:
- Barang diberikan dengan cara yang halal, seperti hadiah, gaji, atau hasil jual beli.
- Barang yang diterima diduga halal, meskipun pada kenyataannya berasal dari jalan haram.
- Wujud luar barang yang diberi adalah baik.
Namun, jika barang diberikan melanggar ketiga batasan tersebut, maka barang tersebut dianggap haram dan akan mendapatkan tuntutan di akhirat.
Selain itu, dalam konteks pembelian makanan dari seseorang yang mengetahui bahwa uang pembeli berasal dari cara haram, ada pandangan bahwa jika penjual menyerahkan makanan sebelum pembayaran dilakukan atau setelahnya dengan pengetahuan bahwa uang tersebut berasal dari haram, maka makanan tersebut dianggap halal untuk dikonsumsi.
Penting untuk memperhatikan asal-usul harta yang diterima dan memberikan serta menjual barang dengan memastikan kehalalannya. Jika penerima, pemberi, atau penjual mengetahui bahwa harta tersebut berasal dari cara haram, maka status gaji, pemberian, atau harga berubah menjadi utang-piutang. Hal ini menunjukkan bahwa transaksi muamalah harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam.
Dengan demikian, dalam menerima barang dari orang lain, penting untuk memperhatikan prinsip-prinsip hukum Islam agar transaksi tersebut tetap sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam syariat.