Keragaman praktik ibadah di kalangan umat Muslim Indonesia telah menjadi hal yang lumrah, termasuk dalam pelaksanaan shalat. Salah satu perbedaan yang sering muncul di antara golongan Muslim adalah mengenai doa qunut saat shalat Subuh. Perbedaan pendapat ini didasari oleh pemahaman hadits dan cara penalaran yang berbeda di antara para ulama.
Menurut mazhab Abu Hanifah, qunut hanya dilakukan saat shalat witir, sementara mazhab Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa qunut Subuh hanya dianjurkan dalam situasi musibah. Di sisi lain, mazhab Syafi’i yang banyak diamalkan di Indonesia, menganggap membaca doa qunut Subuh sebagai sunnah ab’adl, yang jika ditinggalkan, disarankan untuk melakukan sujud sahwi.
Beberapa ulama mazhab Syafi’i mengacu pada hadits yang meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW selalu berqunut saat shalat Subuh hingga beliau wafat. Namun, terdapat pula pendapat yang mempertanyakan interpretasi dari hadits tersebut. Sebagai contoh, Imam Malik bin Anas membedakan antara amalan sunnah dan mustahab, dengan menyatakan bahwa qunut adalah hal yang dianjurkan namun Nabi tidak selalu mengamalkannya secara terus-menerus.
Perbedaan pendapat ini juga tercermin dalam tata cara pelaksanaan qunut. Misalnya, Imam Malik berpendapat bahwa doa qunut sebaiknya dilakukan sebelum ruku’, berbeda dengan mazhab Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal yang menyatakan bahwa qunut dilakukan setelah ruku’.
Meskipun perbedaan ini masih ada, namun kini perdebatan mengenai qunut Subuh nampaknya telah reda di masyarakat, terutama di kota-kota. Kalangan Nahdliyin yang terbiasa dengan qunut tidak keberatan untuk shalat tanpa qunut, begitu pula sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat keragaman pandangan, umat Islam tetap menjaga kebersamaan dalam beribadah.
Sebagaimana disampaikan oleh Imam Sufyan ats Tsauri, bahwa baik melakukan qunut di waktu Subuh maupun tidak melakukannya, keduanya termasuk hal yang baik dan dianjurkan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam perbedaan pendapat tersebut, kebaikan tetap dapat terwujud.
Wallahu a’lam.