Wakaf merupakan upaya untuk menahan suatu aset dengan tetap mempertahankan wujud barang yang disertai dengan hilangnya hak kepemilikan pewakaf ke suatu bidang jalur wakaf yang mubah karena niat ibadah. Salah satu poin penting dalam definisi wakaf adalah adanya tindakan mencegah pewakaf atas barang yang diwakafkan, aset wakaf berupa aset manfaat atau aset yang bisa dimanfaatkan, serta wujud barang yang tidak boleh rusak akibat pemanfaatan.
Dalam konteks wakaf tunai, perhatian utama adalah pada status tetapnya wujud aset serta tidak mengalami kerusakan setelah dimanfaatkan. Hal ini menjadi dasar mengapa wakaf dengan dinar atau dirham tidak diperbolehkan, sesuai dengan pandangan yang disampaikan oleh beberapa ulama.
Analogi sederhana dalam masyarakat sehari-hari dapat membantu memahami konsep ini. Misalnya, ketika seseorang menitipkan uangnya ke bank, akad penitipan menggunakan akad wadi’ah yang menekankan kembalinya barang sesuai dengan saat penitipan dilakukan. Konsep ini juga berlaku dalam lembaga keuangan, di mana penarikan saldo seharusnya menghasilkan uang dengan nilai yang sama seperti saat pertama kali dititipkan.
Perbedaan pandangan terhadap uang juga tercermin dalam praktik wadi’ah di mana barang titipan, khususnya uang, cenderung dianggap memiliki nilai yang sama. Dalam konteks wakaf, mewakafkan ainu al-nuqûd atau “keping mata uang” bisa menyebabkan kerusakan karena tasharuf, sehingga lebih disarankan untuk mewakafkan “nilai uang” agar tidak mengalami kerugian.
Dengan demikian, implementasi wakaf tunai harus memperhatikan prinsip tetapnya wujud nilai uang agar tidak mengalami kerusakan. Hal ini penting dalam memastikan bahwa amanah wakaf dapat dijaga dengan baik dan bermanfaat sesuai dengan niat ibadah yang tulus. Semoga pemahaman ini dapat memberikan landasan yang kuat bagi praktik wakaf tunai yang efektif dan bermanfaat bagi masyarakat.
