Pada suatu kesempatan, penulis mengikuti jamaah shalat Maghrib di sebuah masjid di daerah pinggiran Jakarta. Ternyata, sang imam tidak membaca basmalah dengan jelas (jahr). Hal ini menimbulkan perbedaan pemahaman dalam membaca basmalah Surat Al-Fatihah, terutama dalam konteks pelaksanaan shalat.
Perbedaan pendapat mengenai basmalah dalam Surat Al-Fatihah ini disebutkan dalam berbagai kitab ulama, seperti Bidâyatul Mujtahid karya Muhammad Ibnu Rusyd dan kitab-kitab syarahnya. Ibnu Rusyd mengkategorikan perbedaan ini dalam dua sebab utama: apakah basmalah harus dibaca keras (jahr) dalam shalat, dan apakah basmalah merupakan bagian dari Surat Al-Fatihah.
Beberapa kalangan ulama mazhab berpendapat bahwa basmalah tak perlu dibaca dalam Al-Fatihah, sementara yang lain menyatakan bahwa basmalah tetap dibaca namun secara pelan (sirr). Di Indonesia, dalam mazhab Syafii, basmalah dibaca sesuai dengan keadaan shalat yang dilakukan: pelan untuk shalat dengan bacaan pelan, dan keras untuk shalat dengan bacaan keras.
Perbedaan pendapat ini didasarkan pada penilaian dan pemahaman hadits tentang bacaan basmalah Rasulullah secara jahr. Ada yang merujuk hadits yang menyatakan Nabi membaca basmalah secara jahr, namun juga ada yang merujuk hadits yang menunjukkan sebaliknya.
Diskusi mengenai hukum basmalah dalam Surat Al-Fatihah ini menunjukkan bahwa penetapannya terletak pada interpretasi dan penilaian atas hadits yang ada. Setiap mujtahid dan ulama memiliki metode dan pendekatan tersendiri dalam memahami hal ini, namun pada akhirnya, yang terpenting adalah menyesuaikan diri dengan ajaran yang diamalkan sehari-hari di masyarakat.