Pada saat ini, pemerintah telah mengumumkan adanya Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri. Sebagai respons terhadap hal ini, program vaksinasi menjadi salah satu fokus utama pemerintah. Vaksin diperlukan sebagai langkah pencegahan terhadap penyakit-penyakit tertentu yang memerlukan tingkat kekebalan tubuh yang lebih baik. Di tengah upaya pencegahan KLB Difteri, pentingnya vaksinasi seperti vaksin polio, campak, dan hepatitis pada usia dini semakin ditekankan.
Namun, masih ada sebagian masyarakat yang menolak program vaksinasi ini. Beberapa dari mereka menolak vaksin dengan alasan agama, khawatir terhadap kandungan haram dalam vaksin tersebut. Meskipun beberapa organisasi keagamaan seperti PBNU dan fatwa MUI No. 4 Tahun 2016 sudah memberikan izin penggunaan vaksin, namun masih ada pihak yang menolak atas dasar keyakinan agama.
Meskipun kekhawatiran ini didasarkan pada informasi yang belum tentu valid, namun penolakan terhadap vaksinasi ini tetap menjadi perhatian serius. Pertanyaan muncul, apakah agama Islam tidak memberikan solusi terhadap masalah ini?
Dalam konteks pengobatan dengan benda najis, terutama yang sering dikaitkan dengan vaksin, komentar Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab menjadi referensi penting. Menurutnya, berobat dengan benda najis selain khamr diperbolehkan asalkan tidak bersifat memabukkan.
Lebih lanjut, Imam an-Nawawi juga menekankan pentingnya mempercayai pendapat tenaga kesehatan yang kompeten dalam bidangnya. Hal ini menunjukkan bahwa berobat dengan bahan najis bisa diterima jika dilakukan oleh ahli medis yang memiliki pengetahuan yang cukup.
Dari penjelasan tersebut, terdapat beberapa hal yang dapat disimpulkan. Pertama, penggunaan bahan najis dalam pengobatan diizinkan jika tidak tersedia alternatif lain yang halal. Kedua, pentingnya mempercayai tenaga kesehatan yang memberikan informasi tentang keamanan penggunaan obat atau vaksin.
Informasi tentang vaksin dan obat-obatan sudah tersebar melalui media-media resmi dan terpercaya. Ilmu kedokteran dan pengobatan telah berkembang pesat sehingga setiap obat yang beredar sudah melewati serangkaian uji klinis dan pengawasan ketat.
Meskipun terdapat kemungkinan efek samping ringan dari vaksin seperti demam, hal ini dapat dikonsultasikan dengan tenaga medis untuk mendapatkan informasi lebih lanjut. Klarifikasi informasi dari tenaga kesehatan menjadi penting agar tidak salah dalam menilai keamanan suatu obat atau vaksin.
Keputusan untuk menjalani terapi adalah hak setiap pasien, namun penting untuk memastikan bahwa informasi yang diyakini benar dan dapat dipertanggungjawabkan.