Thawaf merupakan salah satu rukun haji yang tidak dapat diwakilkan kepada orang lain dan harus dilakukan oleh setiap jamaah haji. Pada tahun 2016, jumlah jamaah haji mencapai 1,8 juta orang lebih, dengan setiap hujjaj memiliki kewajiban sama yaitu menjalankan thawaf. Namun, selain menjalankan thawaf wajib, ada juga mereka yang melakukan thawaf sunah. Berapa banyak kelipatannya?
Menemukan waktu senggang di Masjidil Haram yang sepi dari keramaian saat musim haji bisa menjadi tantangan tersendiri bagi jamaah haji. Hal ini penting agar mereka dapat menjalankan thawaf tanpa bersentuhan dengan lawan jenis, sesuai dengan tuntunan agama.
Jamaah haji asal Indonesia umumnya mengikuti mazhab Syafi’i, yang memiliki pandangan ketat terkait bersentuhan antara laki-laki dan perempuan tanpa penghalang. Menurut mazhab Syafi’i, bersentuhan seperti itu dapat membatalkan wudhu, kecuali jika tidak disengaja dan tidak menimbulkan syahwat.
Dalam konteks pindah mazhab (intiqalul madzhab), ada pandangan lintas mazhab yang menyatakan bahwa lebih baik mengikuti pendapat lemah dalam satu mazhab daripada pindah ke mazhab lain yang memiliki syarat-syarat yang sulit dipenuhi. Hal ini demi menjaga kesatuan dalam keyakinan dan praktik ibadah.
Dalam hal thawaf, sentuhan antara laki-laki dan perempuan non-mahram merupakan ujian umum bagi jamaah. Menurut Imam Nawawi, sentuhan semacam itu dapat membatalkan wudhu bagi yang menyengaja menyentuh (al-lamis), namun terdapat perbedaan pendapat bagi yang tidak menyengaja menyentuh (al-malmus).
Imam Nawawi memberikan arahan agar dalam situasi sulit seperti saat thawaf di Masjidil Haram yang ramai, sebaiknya mengikuti pendapat minoritas yang membolehkan tidak membatalkan wudhu jika bersentuhan tidak disengaja. Hal ini sebagai solusi praktis di tengah kesulitan yang dihadapi.
Dengan demikian, bagi pengikut mazhab Syafi’i, pindah mazhab tidak diperlukan dalam kondisi tertentu seperti saat thawaf di Masjidil Haram. Selama menjaga kesucian dan tidak menyengaja menyentuh lawan jenis, ibadah thawaf tetap sah dilakukan. Perbedaan pendapat dalam masalah ini memberikan ruang fleksibilitas dalam beribadah tanpa mengurangi keutuhan keyakinan dan amalan keagamaan.