Bulan Muharram, atau dalam tradisi Jawa dikenal sebagai “Sasi Suro”, memiliki makna yang mendalam bagi umat Muslim. Bulan ini bukan hanya menjadi awal tahun baru dalam kalender Islam, tetapi juga dipandang sebagai momen penting yang penuh kenangan. Salah satu peristiwa agung yang terjadi dalam bulan Muharram adalah “Bodo Suro”.
Keterangan tentang makna “Hari Raya Suro” ini diambil dari penjelasan KH Sholeh Darat dalam kitabnya pada bulan Muharram tahun 1317 H. Menurut penanggalan Jawa online, pada 1 Muharram 1317 H jatuh pada hari Jum’at Pon, bersamaan dengan 12 Mei 1899 M atau 1 Suro 1829 (Jawa).
KH Sholeh Darat menjelaskan dalam kitabnya tentang kemuliaan bulan Muharram sebagai awal tahun baru bagi seluruh umat Islam. Dia menyebutkan bahwa tanggal 10 Muharram merupakan “Hari Raya” yang dirayakan dengan memberikan shadaqah, bersyukur atas nikmat Allah, dan berpakaian rapi sambil memberikan makanan kepada fakir miskin.
Selain itu, umat Islam diminta untuk membaca doa akhir tahun pada tanggal 30 Dzulhijjah setelah shalat ashar sebanyak tiga kali. Doa ini bertujuan agar syetan tidak menggoda selama tahun baru tersebut. Begitu pula dengan doa awal tahun yang dapat melindungi dari godaan syetan jika dibaca tiga kali setelah shalat maghrib di awal bulan Muharram.
Acara Suronan yang dilaksanakan umat Muslim Jawa dengan berdoa bersama di musholla dan masjid menjadi momen penting untuk memperkuat hubungan dengan Allah Swt serta antar sesama. Dalam merayakan tahun baru Islam, penting untuk memahami bahwa kehidupan manusia melibatkan proses awal (kelahiran) dan akhir (kematian).
KH Sholeh Darat juga menekankan pentingnya ketenangan hati dan perilaku dalam menjalani kehidupan menuju husnul khatimah (akhir yang baik). Ia mengajarkan agar manusia senantiasa menyadari keberadaan Allah dan menjalani ajaran Islam dengan baik.
Dengan memahami makna bulan Muharram dan ajaran-ajaran dari KH Sholeh Darat, semoga umat Islam dapat merayakan tahun baru hijriyah dengan penuh keberkahan dan kesadaran akan arti hakiki kehidupan.