HIV dan AIDS telah menyebar secara signifikan di Indonesia, menjangkau hampir semua kabupaten di seluruh negeri. Penyakit ini, yang salah satu penularannya disebabkan oleh pola hubungan yang tidak aman, sering kali dikaitkan dengan pekerja seks. Namun, penting untuk memahami bahwa wabah AIDS merupakan ancaman serius bagi masyarakat secara keseluruhan.
Untuk meminimalisir penularan HIV, pemerintah telah mengembangkan Strategi Nasional dalam penanggulangan HIV dan AIDS yang melibatkan pembentukan organisasi komunitas. Organisasi Pekerja Seks Indonesia (OPSI) adalah salah satu contoh yang telah terbentuk dengan dukungan dari Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN). Organisasi ini berfungsi sebagai wadah bagi pekerja seks untuk berpartisipasi dalam program penanggulangan HIV dan AIDS secara legal. Oleh karena itu, tindakan stigma dan kriminalisasi terhadap mereka tidak dapat dibenarkan. Sementara itu, perzinaan atau seks bebas tetap menjadi tindakan yang dilarang oleh agama.
Pemerintah memiliki kewajiban untuk menegakkan keadilan bagi masyarakat demi mencapai kemaslahatan. Hal ini mencakup pembuatan regulasi yang melarang praktik perzinahan dan penegakan regulasi tersebut secara konsisten. Ini adalah tanggung jawab pemerintah dalam mencapai maslahat ‘ammah.
Lokalisasi muncul sebagai solusi pemerintah untuk mengurangi dampak negatif perzinahan, bukan untuk menghalalkannya. Dengan adanya lokalisasi, efek negatif dari perzinahan dapat dikelola dan dikontrol agar tidak menyebar ke masyarakat luas, termasuk penyebaran virus HIV. Dengan kontrol yang ketat dan penyuluhan yang terencana, diharapkan keberadaan lokalisasi akan berkurang seiring meningkatnya kesadaran para penghuninya, yang pada akhirnya akan menemukan jalan hidup yang lebih baik.
Tujuan ini dapat dicapai jika program lokalisasi didukung oleh kebijakan yang konsisten dan upaya massif untuk menyelesaikan akar masalah, seperti kemiskinan, ketimpangan sosial, penyimpangan aturan, dan struktur sosial yang tidak adil. Penegakan hukum harus dilakukan terhadap mereka yang melakukan praktik perzinahan di luar lokalisasi. Jika semua prasyarat ini dipenuhi, dampak negatif yang ditimbulkan akan jauh lebih ringan dibandingkan kondisi yang ada saat ini.
Dalam konteks ini, penting untuk menyadari bahwa tindakan yang lebih besar harus dihilangkan dengan cara yang lebih ringan. Ini sejalan dengan prinsip bahwa dalam menghadapi kemunkaran, ada beberapa tingkatan tindakan yang bisa diambil. Pertama, menghilangkan kemunkaran dan menggantinya dengan hal yang baik; kedua, mengurangi kemunkaran meskipun tidak sepenuhnya hilang; ketiga, mengganti kemunkaran dengan kemunkaran lain yang sebanding; dan keempat, mengganti kemunkaran dengan kemunkaran yang lebih besar. Dua tingkatan pertama diperintahkan oleh syara’, sedangkan tingkatan ketiga merupakan ranah ijtihad, dan tingkatan keempat adalah haram.
Dengan pendekatan yang holistik dan berbasis pada regulasi serta kesadaran masyarakat, penanganan HIV dan AIDS di Indonesia dapat dilakukan lebih baik demi kesehatan masyarakat secara keseluruhan.