- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Kisah Kiai Munajat dan Mbah Dimyati: Warisan Spiritual yang Hidup

Google Search Widget

Teman-teman Naqshabandi Semarang berharap untuk melakukan perjalanan ke Jogja bersama Syaikh Mustafa Mas’ud al-Naqsabandi al-Haqqani. Dalam perjalanan yang melewati Salatiga, Syaikh Mus menceritakan tentang Kiai Munajat dan Mbah Dimyati, dua sosok kiai yang memberikan ilustrasi mendalam tentang ketulusan dan semangat spiritual yang hidup di dada mereka, yang juga dimiliki oleh banyak Kiai NU. Rasa ini muncul dari dzikir, dan meski telah wafat, mereka tetap “online” dalam hati para santri.

Kiai Munajat dikenal sebagai sosok yang pemberani. Ia berperan penting dalam menyelamatkan Kolonel Darsono meskipun harus menghadapi risiko yang besar. Setelah lebih dari dua tahun dari kejadian tersebut, Syaikh Mus berkunjung ke rumah Kiai Munajat, hanya untuk menemukan bahwa beliau telah wafat empat puluh hari sebelumnya. Namun, warisan spiritual Kiai Munajat dilanjutkan oleh putranya, Kiai Munawir, yang dikenal sangat tawadhu. Santri-santri Kiai Munawir bahkan menghapal Al-Qur’an di kuburan Kiai Munajat dan merasa mendapatkan kemudahan dalam proses tersebut.

Suasana ngaji di tempat Kiai Munajat bagaikan suara lebah karena ramainya orang yang belajar Al-Qur’an. Setiap kali berkunjung, Syaikh Mus selalu menginap di sumur milik Kiai Munajat yang terkenal segar. Beliau wafat antara tahun 1986 atau 1987, tetapi hubungan spiritual Syaikh Mus dengan beliau tetap terasa kuat hingga kini.

Cerita tentang Mbah Dimyati tidak kalah menarik. Mbah Dimyati adalah sosok aulia yang serupa dengan Kiai Munajat. Meski telah wafat, ia masih membantu cucunya dalam menghapal Al-Qur’an. Paman Syaikh Mus, Kiai Dahlan Kholil, juga mendapatkan ijazah Al-Qur’an dari Mbah Dimyati. Cerita lain tentang Mbah Dimyati menggambarkan sikap tawadhu-nya ketika suatu hari ia membantu seorang Habib yang mobilnya mogok. Mbah Dimyati menyebut dirinya sebagai “Al-Qur’an Bodhol,” dan saran-saran bijaknya mencerminkan kelembutan hati dan kesederhanaan.

Kedua sosok ini mencerminkan karakter ulama NU yang semakin jarang ditemukan saat ini. Dalam konteks zaman modern ini, banyak orang berbicara tentang kebaikan hanya sebagai retorika belaka. Allah sering kali dianggap sebagai konsep abstrak, bukan sesuatu yang menggetarkan hati. Hal ini disebabkan oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal termasuk pengaruh negatif dari kelompok tertentu yang menjadikan agama sekadar wacana, sementara faktor internal mencakup kelemahan dalam diri umat itu sendiri.

Suharto, misalnya, memiliki dampak besar terhadap pesantren dan ulama dengan menyebarkan uang dan menarik mereka dalam kekuasaan, hingga figur-figur seperti Kiai Munajat dan Mbah Dimyati kurang diperhatikan lagi. Pengalaman Syaikh Mus dengan Kiai Hamid Pasuruan menunjukkan betapa pentingnya sikap tawadhu dan kekuatan internal bagi seorang ulama. Bahkan ketika seorang nelayan datang untuk mengucapkan terima kasih atas doa Kiai Hamid yang memberinya ikan besar, Kiai Hamid tetap merendah dan menekankan bahwa ia belum berdoa.

Kekuatan spiritual ini membuat para ulama menjadi penyebar cinta dan cahaya Muhammad di seluruh penjuru. Oleh karena itu, penting bagi umat Muslim untuk menghidupkan kembali hubungan batin mereka dengan Rasulullah melalui tindakan nyata, bukan hanya kata-kata. Ulama-ulama terdahulu menunjukkan karomah sebagai bagian dari kebangkitan spiritual mereka.

Perjalanan Syaikh Mus bersama teman-temannya kini berlanjut ke Magelang, di mana mereka akan membahas kisah Kiai Wahid Hasyim dan hubungan antara lailatul ijtima NU dengan majelis dzikir Walisongo di Masjid Demak. Semoga kisah ini bermanfaat dan menginspirasi kita untuk menghidupkan kembali rasa di hati serta menjalin pertalian dengan Rasulullah SAW demi kebaikan umat.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

November 22

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?