- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Kisah Spiritual Gus Dur

Google Search Widget

Orang-orang yang dekat dengan Gus Dur sering menceritakan kebiasaan beliau ketika berada dalam keheningan. Jika tidak ada teman untuk diajak bicara, beliau akan membaca surah Al-Fatihah berulang kali, diikuti dengan shalawat kepada Nabi. Setelah itu, Gus Dur melanjutkan dengan tawasul dan berdoa untuk dirinya sendiri, orang tua, keluarga, juga untuk para wali, ulama yang telah wafat, serta bangsa dan negara yang ia cintai.

Banyak yang mengamati gerakan tangan Gus Dur yang seolah tak pernah berhenti, seakan mengetuk-ngetuk. Sebenarnya, gerakan ini merupakan bentuk dzikir: “Allah, Allah, Allah.” Tangan tersebut berfungsi sebagai pengganti tasbih. Ini adalah jalan spiritual atau thariqat yang diyakini oleh orang-orang terdekatnya. Belum ada informasi pasti apakah Gus Dur mengamalkan thariqat tertentu seperti Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Tijaniyah, Mawlawiyah, Rifa’iyyah, atau lainnya. Banyak yang berpendapat bahwa beliau tidak terikat pada satu thariqat saja, dan mungkin tidak ingin berkomentar mengenai thariqat yang diakui maupun yang tidak.

Gus Dur memandang semua thariqat sebagai sesuatu yang baik karena merupakan jalan spiritual yang ditemukan oleh setiap individu berdasarkan pengalaman masing-masing. Dalam berbagai kesempatan, beliau juga menunjukkan rasa kagumnya terhadap cara-cara spiritual yang dijalani oleh pengikut agama-agama lain di dunia.

Salah seorang teman berbagi cerita bahwa ia mendapatkan ijazah untuk mengamalkan suatu thariqat dari banyak guru atau mursyid, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Gus Dur sering melakukan ziarah ke makam para pendiri thariqat, termasuk Syiekh Abd al-Qadir al-Jilani di Irak.

Thariqat adalah jalan menuju Tuhan dengan dimensi esoterik dan spiritual. Para pengikut thariqat biasanya menjalani perjalanan ini melalui aktivitas dzikir, perenungan dalam keheningan malam ketika semua aktivitas manusia berhenti. Mereka mengucapkan dzikir berkali-kali hingga nama-Nya melekat di hati mereka, menjadikan-Nya bagian dari diri mereka.

Dalam tradisi masyarakat umum, dzikir dan doa dilakukan untuk melepaskan kegalauan dan meminta apa yang diimpikan. Namun, para sufi memanjatkan doa dan dzikir lebih sebagai permohonan ampunan atas dosa-dosa agar mereka diridhai dan dicintai oleh-Nya. Mereka percaya bahwa segala sesuatu yang dilakukan dalam kehidupan tidak ada maknanya tanpa kerelaan dan cinta Tuhan.

Di kalangan pesantren, tradisi ini dimulai dengan membaca shalawat atas Nabi sebagai wasilah kepada Tuhan. Di berbagai negara Muslim, tradisi ini telah berlangsung lama. Mereka meyakini wasilah sebagai cara untuk memahami Tuhan dan ajaran-Nya. Dalam tradisi sufisme, diyakini bahwa demi Nabi Muhammad lah Tuhan menciptakan semesta.

Mengacu pada hadits Qudsi, terdapat ungkapan: “Lawlaka Lawlaka Ma Khalaqtu al-Aflak” (Andai tak karena kamu (Muhammad), Aku tak menciptakan cakrawala). Mereka percaya bahwa ciptaan Tuhan yang pertama adalah “Nur Muhammad.” Nabi Muhammad juga dianggap sebagai al-Syafi’ (penolong) yang menerangi umat manusia dari kegelapan zaman Jahiliyah. Melalui beliau, umat manusia mendapatkan cahaya dan petunjuk.

Al-Qur’an menyatakan:

“Dialah yang memberi rahmat kepadamu (Muhammad) dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan (membebaskan) mereka dari kegelapan (kebodohan) kepada cahaya (ilmu pengetahuan). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (Q.S. Al-Ahzab, [33]:43).

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

March 10

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?