Akhir-akhir ini, banyak masalah ke-Islaman yang menyita perhatian masyarakat, mulai dari isu nabi palsu, permasalahan Ahmadiyah, hingga faham Syi’ah. Fenomena ini mengundang perhatian berbagai lembaga keagamaan, baik yang berada di bawah naungan negara seperti MUI dan Kementerian Agama, maupun lembaga Islam mandiri seperti NU dan Muhammadiyah.
Beragam analisis muncul terkait fenomena ini, ada yang menganggapnya sebagai permainan politik kekuasaan, ada pula yang melihatnya sebagai isu ideologis murni, serta ada yang memandang dari sudut ekonomi. Sebelum memberikan pendapat, penting untuk memahami duduk persoalan ini: kapan, bagaimana, dan di mana fenomena tersebut mulai muncul? Konteks sosial apa yang mendorong lahirnya berbagai aliran dalam Islam? Setelah itu, kita bisa memposisikan mereka dalam konteks ke-Islaman di Nusantara.
Tulisan ini akan membawa kita kembali ke masa awal kelahiran Islam di Makkah, kemudian melanjutkan perjalanan ke khulafaurrasyidin, hingga transformasi kekuasaan di tangan beberapa khalifah. Tidak kalah penting adalah memahami kondisi sosial-politik yang melingkupi perjalanan Islam hingga terjadinya perbedaan pemahaman akidah.
Makkah sebagai pusat perdagangan pada zaman itu merupakan latar belakang yang penting. Afif al-Kindi, seorang pedagang yang sering datang ke Makkah, menjadi saksi awal perkembangan Islam. Ketika ia melihat Nabi Muhammad saw. beserta pengikutnya, ia bertanya kepada al-Abbas, paman Nabi, mengenai agama yang dianut mereka. Al-Abbas menjelaskan bahwa Muhammad menganggap dirinya utusan Allah dengan tujuan menggulingkan kekuasaan Persia dan Romawi. Saat itu, pengikutnya hanya ada tiga orang: Khodijah, istri Muhammad, dan Ali bin Abi Thalib.
Nabi Muhammad saw. mengaitkan cita-cita perjuangan Islam dengan penaklukan dua kekuasaan dominan tersebut sebagai strategi untuk menyebarkan ajaran Islam. Di samping itu, situasi politik ini ternyata berkontribusi pada munculnya beberapa kelompok (firqah) dalam Islam.
Karakteristik masyarakat Arab yang dikelilingi padang pasir juga mempengaruhi watak bangsa Arab. Mereka dikenal sulit bersatu dan cenderung fanatik terhadap suku masing-masing. Hal ini terlihat dalam perang Fijar yang terjadi hanya karena masalah sepele. Di tengah kondisi seperti itu, Allah swt. mengutus Rasulullah saw. untuk membawa misi Islam yang menekankan rehabilitasi moral, persaudaraan, dan persatuan.
Selama kurang lebih 23 tahun, Nabi Muhammad saw. berhasil meredam fanatisme kesukuan dan membangun persaudaraan baru berdasarkan ikatan Islam. Namun, setelah wafatnya Rasulullah saw., persatuan tersebut mulai mengalami kemunduran. Sejarah mencatat bahwa setelah beliau meninggal dunia, perdebatan sengit mengenai pengganti beliau sebagai pemimpin Islam sudah terjadi sebelum jenazah beliau dimakamkan.
Perdebatan di Saqifah Bani Sa’ad antara golongan Anshar dan Muhajirin berujung pada terpilihnya Abu Bakar al-Shiddiq sebagai khalifah pertama. Namun, terpilihnya Abu Bakar memicu reaksi beragam di kalangan masyarakat. Beberapa orang menyatakan kesetiaan dengan membai’atnya, tetapi ada juga yang menolak dan bahkan keluar dari Islam.
Kondisi ini menunjukkan bahwa fanatisme kesukuan pasca-Nabi sulit dibendung. Ali ibn Abi Thalib pun awalnya enggan membai’at Abu Bakar sebagai khalifah hingga setelah wafatnya Fatimah Zahra binti Muhammad saw.
Walaupun umat Islam saat itu masih bersatu dalam masalah aqidah dan syari’ah, kehidupan politik mereka mulai terpecah. Inilah yang menjadi awal lahirnya berbagai firqah dalam Islam.