- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Perayaan Maulid Nabi: Mengapa Tidak Bisa Dikatakan Sebagai Bid’ah

Google Search Widget

Pernyataan bahwa perayaan Maulid Nabi adalah amalan bid’ah sangat tidak tepat. Bid’ah merujuk pada sesuatu yang baru atau diada-adakan dalam Islam tanpa landasan dari Al-Qur’an dan as-Sunah. Meskipun Maulid adalah sesuatu yang baru dalam Islam, perayaan ini memiliki dasar dari Al-Qur’an dan as-Sunah.

Dalam perayaan Maulid Nabi, terdapat banyak nilai ketaatan, seperti bersyukur, membaca dan mendengarkan bacaan Al-Qur’an, bersedekah, mendengarkan mauidhoh hasanah atau menuntut ilmu, serta mengenang sejarah dan keteladanan Nabi. Semua aktivitas tersebut sangat dianjurkan dalam agama dan didukung oleh dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an dan as-Sunah.

Salah satu argumen yang menyatakan bahwa Maulid adalah bid’ah adalah pengkhususan waktu perayaannya pada bulan Rabiul Awal. Namun, perlu ditinjau kembali bahwa pengkhususan (takhsis) yang dilarang dalam Islam adalah takhsis yang menetapkan hukum bahwa suatu amal hanya boleh dilakukan pada hari-hari tertentu tanpa ada landasan syar’i. Dalam hal ini, pelaksanaan Maulid Nabi tidak mengharuskan bahwa perayaan tersebut hanya bisa dilakukan di bulan Rabiul Awal. Sebaliknya, Maulid dapat dirayakan kapan saja, selama tetap mengandung nilai ketaatan dan tidak bercampur dengan maksiat.

Pengkhususan waktu untuk Maulid seharusnya dipahami sebagai penertiban acara. Nabi Muhammad sendiri pernah mengkhususkan hari tertentu untuk beribadah dan berziarah ke Masjid Kuba. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, Nabi Muhammad mengunjungi Masjid Kuba setiap hari Sabtu untuk sholat dua rakaat di sana. Banyaknya riwayat mengenai hadis ini menunjukkan bahwa pengkhususan sebagian hari untuk amal saleh adalah diperbolehkan.

Imam Nawawi juga menegaskan hal serupa dalam kitab Syarah Sahih Muslim. Para sahabat Anshor juga mengkhususkan waktu tertentu untuk berkumpul dalam rangka mengingat nikmat Allah pada hari Jumat, yang mereka sebut Yaumul ‘Urubah, dan ini direstui oleh Nabi.

Oleh karena itu, pengkhususan jadwal Maulid, Isro’ Mi’roj, dan acara lainnya hanyalah untuk penertiban kegiatan dengan memanfaatkan momen yang sesuai. Ini mirip dengan penjadwalan waktu sekolah dan kelas yang diperbolehkan untuk ketertiban. Tanpa penjadwalan, kegiatan mudah diremehkan dan dilupakan.

Sejarah juga menunjukkan bahwa acara Maulid di luar bulan Rabiul Awal sudah ada sejak dahulu. Di desa-desa dan pesantren, pembacaan kitab-kitab berisi sholawat diadakan setiap minggu, meskipun masyarakat Indonesia tidak selalu menyebutnya sebagai Maulid. Di berbagai negara Islam, bentuk dan waktu perayaan Maulid bervariasi sebagai ungkapan syukur yang tidak terbatas pada satu waktu.

Di Yaman, misalnya, perayaan Maulid diadakan setiap malam Jumat dengan bacaan sholawat dan ceramah dari para ulama untuk meneladani Nabi. Penjadwalan Maulid di bulan Rabiul Awal hanyalah budaya manusia dan tidak ada kaitannya dengan syariat. Jika ada keyakinan bahwa acara Maulid hanya boleh diadakan pada bulan Rabiul Awal, maka keyakinan tersebut dapat dianggap sebagai bid’ah dholalah.

Salah satu alasan yang sering dikemukakan oleh mereka yang berpendapat bahwa Maulid adalah bid’ah adalah karena acara tersebut tidak pernah dilakukan pada masa Nabi atau sahabat. Pendapat ini muncul dari kurangnya pemahaman dalam mengeluarkan hukum dari Al-Qur’an dan as-Sunah. Hal-hal yang tidak dilakukan oleh Nabi atau sahabat—dalam istilah usul fiqih disebut at-tark—jika tidak ada keterangan apakah hal tersebut diperintah atau dilarang, maka tidak dapat dijadikan dalil untuk melarang atau mewajibkan.

Pengertian as-Sunah mencakup perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi. Sementara itu, at-tark tidak termasuk di dalamnya. Sesuatu yang ditinggalkan Nabi atau sahabat memiliki banyak kemungkinan, sehingga tidak bisa langsung diputuskan bahwa hal tersebut haram atau wajib. Beberapa alasan mengapa Nabi meninggalkan sesuatu antara lain:

  1. Karena sudah tercakup dalam ayat atau hadis yang maknanya umum.
  2. Untuk menghindari kesan bahwa hal tersebut wajib.
  3. Untuk menjaga perasaan sahabat.
  4. Karena sudah menjadi adat.
  5. Karena melakukan yang lebih utama.

Nabi bersabda bahwa apa yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya adalah halal, dan apa yang diharamkan adalah haram. Apa yang dibiarkan atau ditinggalkan bukan berarti haram. Allah juga berfirman agar kita menerima apa yang diberikan Rasulullah dan meninggalkan apa yang dilarangnya, namun tidak menyebutkan apa yang ditinggalkannya harus ditinggalkan.

Dengan demikian, “at-Tark” tidak memberikan faidah hukum haram. Argumen pengharaman Maulid berdasarkan ketidakadaan contoh dari Nabi dan sahabat sama halnya dengan berdalil menggunakan sesuatu yang tidak bisa dijadikan dalil!

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

March 10

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?