Bagi umat Nahdlatul Ulama (NU), menyelenggarakan pertemuan setiap bulan adalah hal yang biasa. Pertemuan ini dikenal dengan sebutan Lailatul Ijtima’. Istilah “lailah” berarti malam, sedangkan “ijtima’” berarti pertemuan. Dengan demikian, Lailatul Ijtima’ dapat diartikan sebagai sebuah “pertemuan malam” yang dilaksanakan setiap bulan.
Tradisi ini awalnya merupakan kebiasaan para kiai dan perlahan menjadi kebiasaan bagi anggota NU. Acara ini dimanfaatkan untuk membahas, memecahkan, dan mencari solusi terhadap berbagai masalah organisasi, mulai dari urusan iuran, persiapan menghadapi Ramadhan, pelaksanaan shalat Tarawih, penentuan awal Ramadhan, hingga masalah-masalah berat yang dihadapi oleh umat.
Lailatul Ijtima’ biasanya berlangsung di berbagai tingkatan, mulai dari pengurus ranting (desa), majelis wakil cabang (kecamatan), cabang (kabupaten/kota), wilayah (provinsi), hingga pengurus besar.
Salah satu pembuka dalam acara Lailatul Ijtima’ adalah pembacaan tahlil yang menjadi ciri khas NU. Doa dipanjatkan untuk arwah orang tua, para guru, seluruh kaum muslimin dan muslimat, serta khususnya untuk para sesepuh pendiri NU yang telah wafat.
Pertemuan semacam ini memiliki dasar dari beberapa riwayat. Pertama, dari riwayat Bukhori, Muslim, Turmudzi, dan Nasa’i, Rasulullah SAW bersabda bahwa doa mustajab (yang dikabulkan) ada saat berkumpulnya kaum muslimin. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa doa mustajab terdapat dalam majelis dzikir dan khataman Al-Qur’an.
Kedua, orang-orang mukmin diizinkan untuk mengisi malam khusus tersebut dengan berbagai bentuk ibadah seperti shalat, membaca Al-Qur’an, dzikir, dan doa. Ini tidak dianggap makruh.
Ketiga, ibadah dipahami sebagai tindakan mukallaf yang melawan hawa nafsu demi mengagungkan nama Allah.
Tradisi Lailatul Ijtima’ bukan hanya sekadar pertemuan, tetapi juga menjadi momen penting untuk memperkuat tali silaturahmi dan meningkatkan keimanan serta kepedulian terhadap sesama.