Keselamatan, kenyamanan, dan estetika menjadi fokus utama pemerintah Arab Saudi dalam menyambut dan melayani para jamaah haji sebagai tamu Allah SWT. Dalam upaya tersebut, pemerintah melakukan perombakan di beberapa tempat pelaksanaan ibadah haji. Hal ini termasuk perluasan Masjidil Haram di Makkah, pelebaran jalan raya, pembuatan jalan baru, pembuatan terowongan, serta pelebaran Jamarat yang kini memiliki beberapa tingkat. Selain itu, perluasan tempat sa’i dan pembangunan kemah untuk jamaah haji di luar Mina juga telah dilakukan untuk mendukung ibadah mabit (bermalam) di Mina.
Salah satu perubahan signifikan adalah perluasan atau pelebaran tempat sa’i (masa). Perluasan ini yang dikenal sebagai mas
a jadid (masa baru) mulai digunakan pada musim haji 1429 H, memungkinkan jamaah haji melakukan sa’i dari Shafa ke Marwah melalui area yang diperluas, serta dari Marwah ke Shafa melalui mas
a yang lama. Lebar mas`a yang awalnya sekitar 20 meter kini menjadi 40 meter, sehingga luas keseluruhan lokasi sa’i bertambah menjadi sekitar 72.000 m² dari sebelumnya hanya 29.400 m². Proyek ini dimulai pada tahun 2007 setelah musim haji.
Pertanyaannya, apakah masa yang telah diperluas masih dianggap sebagai tempat untuk melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah? Para ulama berpendapat bahwa panjang mas
a adalah jarak antara bukit Shafa dan Marwa, sedangkan lebar mas`a bergantung pada fakta dan praktik yang telah berlangsung sejak zaman Rasulullah hingga kini.
Jika perluasan masa ini menjadi satu kesatuan, di mana mas
a lama digunakan dalam satu arah dan perluasan baru juga dalam arah serupa, maka hukumnya sah. Hal ini karena jamaah haji tetap melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah. Rapat pleno Syuriyah PBNU mengonfirmasi bahwa sa’i di masa setelah perluasan adalah sah, mengingat tidak ada nash yang jelas mengenai batas lebar mas
a pada zaman Nabi. Dinding masa yang ada bukanlah batasan mutlak, dan tidak ada keterangan pasti mengenai ukuran lebar mas
a.
Dalam kitab Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj dijelaskan bahwa tidak ada ukuran lebar mas`a yang ditetapkan oleh para ulama, karena yang wajib adalah menjelajahi area antara bukit Shafa dan Marwah di setiap putaran. Jika sedikit melenceng dari jalur sa’i, itu tidak menjadi masalah.
Perluasan Mina juga merupakan topik penting. Mina adalah lembah di padang pasir sekitar 5 kilometer dari Mekkah yang digunakan sebagai tempat mabit pada hari tasyrik (tanggal 11, 12, 13 Dzulhuijjah). Mina memiliki batas tertentu; kawasan di luar batas tersebut tidak dianggap sebagai Mina. Panjang Mina sekitar 2 mil atau sekitar 3 km, dan lebar Mina tergantung pada area antara dua bukit.
Saat ini, pemerintah Arab Saudi telah meratakan bukit-bukit yang mengapit Mina sehingga kawasan di antara dua bukit menjadi lebih luas. Namun, apa yang terjadi sekarang bukanlah perluasan Mina secara fisik, melainkan penempatan perkemahan di luar kawasan Mina untuk digunakan sebagai tempat mabit. Beberapa tahun terakhir, perkemahan ini digunakan oleh jamaah haji dari Indonesia dan Turki.
Pertanyaan muncul mengenai sahkah mabit di luar kawasan Mina tersebut? Jamaah haji yang tinggal di luar Mina diwajibkan untuk menuju Mina dan mabit di sana selama separuh malam lebih pada malam hari tasyrik. Jika jamaah tidak bisa mabit di Mina, mereka diharuskan membayar dam (denda) karena meninggalkan manasik haji. Hal ini diatur berdasarkan hasil Bahtsul Masail Diniyah Waqiyyah dalam Rapat Pleno Syuriyah PBNU pada 29 Oktober 2008 M / 29 Syawal 1429 H di Jakarta.