Ijtihad, menurut bahasa, berarti mengeluarkan tenaga atau kemampuan. Dalam konteks hukum Islam, ijtihad adalah usaha maksimal untuk mendapatkan kesimpulan hukum dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Untuk menjadi seorang Mujtahid, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi.
Pertama, seorang Mujtahid harus menguasai bahasa Arab, termasuk nahwu, sharaf, dan balaghah. Hal ini penting karena Al-Qur’an dan Hadits ditulis dalam bahasa Arab. Tanpa pemahaman yang baik terhadap bahasa ini, seseorang tidak akan dapat memahami isi Al-Qur’an dan Hadits dengan benar.
Kedua, seorang Mujtahid harus memahami Al-Qur’an secara keseluruhan. Memahami satu ayat tanpa mempertimbangkan ayat lain dapat mengakibatkan kesimpulan hukum yang keliru. Misalnya, ada kelompok yang berpendapat bahwa berdoa untuk orang mati dan bersedekah tidak bermanfaat berdasarkan satu ayat. Namun, banyak ayat lain yang mendorong kita untuk mendoakan orang-orang yang telah meninggal.
Ketiga, penting bagi seorang Mujtahid untuk menguasai Hadits Rasulullah SAW. Pengetahuan mengenai riwayat hadits diperlukan untuk membedakan antara hadits yang sahih dan yang lemah. Mengapa hal ini penting? Karena Rasulullah SAW adalah sumber utama penjelasan Al-Qur’an. Tanpa pemahaman yang baik tentang hadits, seseorang berisiko menarik kesimpulan hukum yang bertentangan dengan ajaran yang benar.
Keempat, mengetahui Ijma’ (kesepakatan hukum) para sahabat juga merupakan syarat penting. Seorang Mujtahid harus memastikan bahwa hukum yang ditetapkannya tidak bertentangan dengan kesepakatan yang telah ada di kalangan sahabat, karena mereka memiliki pemahaman yang lebih mendalam tentang syariat Islam.
Kelima, seorang Mujtahid harus memahami adat kebiasaan manusia. Adat kebiasaan dapat dijadikan dasar hukum selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Pada masa Nabi SAW, ijtihad tidak terlalu diperlukan karena sahabat dapat langsung bertanya kepada Nabi mengenai permasalahan yang dihadapi.
Ijtihad menjadi sangat penting setelah wafatnya Nabi, karena permasalahan hukum terus berkembang. Sejak abad ke-II dan ke-III Hijriyah, perumusan hukum Islam mulai dilakukan, termasuk melalui hasil dari empat madzhab yang berbeda dalam ibadah dan mu’amalah. Dalam periode ini, kaidah-kaidah Ushul Fiqih juga mulai dikembangkan untuk membantu memecahkan berbagai persoalan hukum.
Meskipun saat ini lebih banyak berkaitan dengan penerapan agama daripada ijtihad, bukan berarti ruang untuk ijtihad sepenuhnya ditutup. Terutama dalam konteks masalah baru yang muncul di era teknologi, seperti cangkok mata dan bayi tabung, ijtihad tetap diperlukan dengan tetap berpegang pada kaidah-kaidah ulama sebelumnya dalam ilmu Ushul Fiqih.