Imam Turmudzi, Abu Dawud, dan Ibn Majah dalam kitab Sunan mereka meriwayatkan sebuah hadits yang menyebutkan penggolongan umat Islam menjadi 73 golongan atau firqah. Dari sekian banyak golongan tersebut, hanya satu yang selamat dari ancaman siksa neraka, yaitu golongan yang konsisten pada ajaran Nabi Muhammad SAW dan para Sahabatnya, yang dikenal sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah. Imam Abdul Qahir al-Baghdadi (w. 429 H/1037 M) dalam karya monumentalnya, Al-Farq bainal-Firaq, menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan dari beberapa sumber sanad, termasuk Anas bin Malik, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin ‘Amr, Abu Umamah, dan Watsilah bin al-Asqa.
Respon para ulama kalam terhadap hadits ini ternyata beragam. Pertama, sebagian ulama menggunakan hadits ini sebagai pijakan yang dianggap cukup kuat untuk menggolongkan umat Islam menjadi 73 firqah. Mereka menegaskan bahwa hanya Ahlussunnah wal Jama’ah yang selamat dari neraka. Di antara kelompok ini terdapat Imam Abdul Qahir al-Baghdadi, Imam Abu al-Muzhaffar al-Isfarayini, Abu al-Ma’ali Muhammad Husain al-‘Alawi, Adludin Abdurrahman al-Aiji, dan Muhammad bin Abdulkarim asy-Syahrastani. Ibn Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa (vol-3) juga menilai bahwa hadits tersebut memiliki keabsahan.
Kedua, ada ulama yang tidak menggunakan hadits tersebut sebagai rujukan dalam penggolongan umat Islam, namun tidak secara tegas menolak hadits tersebut. Di antara mereka adalah Imam Abu al-Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari dan Imam Abu Abdillah Fakhruddin ar-Razi. Kedua pakar ilmu kalam ini telah menulis karya ilmiah tanpa merujuk pada hadits tentang Iftiraq al-Ummah, meskipun al-Asy’ari dikenal sebagai pelopor Ahlussunnah wal Jama’ah.
Ketiga, ada ulama yang menilai hadits Iftiraqul Ummah sebagai hadits lemah (dla’if), sehingga tidak dapat dijadikan rujukan. Salah satu di antara mereka adalah Ali bin Ahmad bin Hazm adh-Dhahiri (Ibn Hazm) dalam karyanya, al-Fishal fil-Milal wal-Ahwa’ wan-Nihal.
Pengertian firqah dalam hadits tersebut oleh para ulama berkaitan dengan Ushuluddin (masalah fundamental agama), bukan masalah furu’iyyah atau fiqhiyyah yang berkaitan dengan hukum amaliyah atau khilafiyah, seperti qunut shalat subuh, jumlah raka’at tarawih, dan ziarah kubur.
Syeikh Muhammad Muhyiddin Abdul-Hamid, seorang ulama yang banyak men-tahqiq karya-karya unggulan dalam ilmu kalam, menyatakan kesulitan dalam memperoleh data yang valid mengenai firqoh-firqoh baru, seperti Ahmadiyah dan lainnya.
Permasalahan yang muncul dari hadits 73 firqoh ini masih banyak yang memerlukan studi lebih lanjut yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan religius. Misalnya, apa yang menjadi parameter untuk menentukan suatu kelompok umat sebagai firqah tertentu yang mandiri? Selanjutnya, apa yang menjadi pemicu utama timbulnya firqah-firqah tersebut? Dan sejauhmana peran realitas historis dan kultural mempengaruhi perjalanan serta dinamika firqah-firqah tersebut? Tentu saja, masih banyak hal lain yang perlu dikaji lebih dalam.