- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Perselisihan Penetapan Hari Raya Idul Fitri

Google Search Widget

Belum lama ini, umat Islam Indonesia mengalami perbedaan pendapat mengenai penetapan hari raya Idul Fitri 1427 H, sebuah situasi yang berulang setiap tahunnya. Sebagian umat melaksanakan Id pada hari Senin, sementara yang lain pada hari Selasa. Beberapa organisasi masyarakat menetapkan Id jatuh pada hari Senin, menganggap puasa mereka genap 29 hari berdasarkan anggapan bahwa hilal sudah terlihat pada malam Senin. Anggapan ini didasarkan pada perhitungan hisab yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun secara nyata pengamatan hilal tidak mungkin dilakukan.

Kelompok-kelompok yang berlebaran pada hari Senin meyakini bahwa hilal dapat terlihat pada malam itu. Mereka menyebarkan informasi ke berbagai daerah menggunakan alat modern, menjelaskan hujjah yang mereka anggap benar dan menyerukan umat untuk mengikuti keputusan mereka. Meskipun Departemen Agama menolak kesaksian orang-orang yang mengklaim telah melihat hilal, mayoritas umat Islam memilih untuk menyelesaikan puasa selama 30 hari dan merayakan Idul Fitri pada hari Selasa, mengikuti keputusan resmi Departemen Agama yang berdasarkan pada hisab qat’i yang disepakati para ahli.

Kondisi ini memicu kegaduhan di kalangan umat Islam, diperparah dengan suara takbir dari masjid dan jalanan yang mengikuti dorongan hawa nafsu. Oleh karena itu, penting untuk memahami penjelasan para imam mengenai persoalan ini sebagai pegangan bagi diri kita.

Kesalahan dalam Melaksanakan Hari Raya pada Hari Senin

Mereka yang berbuka pada hari Senin— baik berdasarkan hisab atau kesaksian orang-orang yang mengaku melihat hilal—tidak memiliki dalil yang kuat dan tidak berpegang pada hujjah syar’iyyah yang dapat dijadikan pedoman. Kesalahan ini terlihat dari beberapa aspek:

Pertama, sikap menentang waliyyul amri, dalam hal ini Departemen Agama, yang telah menetapkan 1 Syawal jatuh pada hari Selasa berdasarkan penyempurnaan Ramadhan menjadi 30 hari. Keputusan ini diambil karena tidak ada ru’yah yang dapat dipertanggungjawabkan secara syar’i pada malam Senin dan karena hisab menunjukkan tiadanya kemungkinan ru’yah. Menetapkan awal bulan adalah hak qadhi atau menteri agama; oleh karena itu, tidak ada hak bagi individu atau lembaga untuk menetapkan awal bulan secara sembarangan, meskipun dengan alasan ikhbar.

Sebagaimana diungkapkan dalam Al-Quran (An-Nisa: 59), umat Islam diperintahkan untuk taat kepada Allah, Rasul-Nya, dan ulil amri di antara mereka. Dalam penafsiran Al-Qurtubi, taat kepada penguasa merupakan kewajiban selama perintah tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan Allah. Ketaatan kepada ulul amri dalam hal-hal keagamaan juga menjadi bagian dari kewajiban tersebut.

Selain itu, terdapat banyak dalil yang menunjukkan kewajiban taat kepada penguasa dan ulama, meskipun mereka memiliki kelemahan. Ketaatan ini berlaku sepanjang mereka tidak memerintahkan maksiat kepada Allah. Dalam hal ini, Departemen Agama telah benar dalam menolak kesaksian satu atau dua orang yang mengaku melihat hilal pada malam Senin, karena berpegang pada hujjah syar’iyyah yang dapat dipertanggungjawabkan.

Kedua, mereka bertentangan dengan hisab qat’i mengenai tiadanya kemungkinan melihat hilal pada malam Senin. Menentukan awal bulan harus berdasarkan kemampuan melihat hilal menurut ahli falak. Hilal pada malam Senin berada di bawah satu derajat atau kurang, sehingga tidak mungkin terlihat. Dengan demikian, pelaksanaan Id pada hari Senin berlandaskan argumen bahwa hilal sudah terlihat adalah salah dan tidak sesuai dengan Sunnah.

Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kamu berpuasa sampai kamu melihat hilal, dan janganlah kamu berbuka sampai kamu melihatnya.” Oleh karena itu, kesaksian orang-orang yang mengaku melihat hilal pada malam Senin harus ditolak. Argumen mereka dalam melaksanakan Id berdasarkan ru’yah semacam itu tidak memiliki dasar yang kuat.

Jika saja pihak-pihak tersebut merujuk kepada Al-Quran, Sunnah Rasulullah, dan pendapat para ulama, mereka tidak akan berani menentang keputusan resmi. Namun, sikap arogansi dan hawa nafsu membuat mereka melawan keputusan tersebut.

Dengan memahami penjelasan ini, diharapkan kita dapat lebih bijak dalam menentukan sikap terhadap penetapan hari raya dan menjaga persatuan di antara umat Islam dalam menjalankan ajaran agama.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

June 26

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?