Indonesian
 - 
id

Keharaman Judi dalam Islam dan Upaya Pemberantasannya

Google Search Widget

Keharaman judi dalam Islam telah menjadi konsensus di kalangan ulama, yang dikenal sebagai “mujma’ alaih”. Dalam istilah yang lebih umum, judi termasuk dalam kategori “ma’lum min ad-din bidh-dharurah”, yang berarti sesuatu yang telah diketahui dengan pasti dalam agama. Oleh karena itu, setiap muslim mukallaf diwajibkan untuk meninggalkan praktik judi dan juga mencegah pelakunya, serta menghentikannya dengan paksa jika memiliki kemampuan. Hal ini dijelaskan dalam kitab Sulam at-Taufiq yang menyatakan bahwa:

“Dan wajib (bagi mukallaf) meninggalkan semua yang diharamkan, serta mencegah pelakunya dan menghentikannya dengan paksa jika mampu. Jika tidak mampu, maka wajib mengingkari hal itu dengan hati, dan wajib juga meninggalkan tempat kemaksiatan.”

Syekh Nawawi Banten, dalam penjelasannya terhadap kitab Sulam at-Taufiq, merujuk kepada hadits sahih riwayat Imam Muslim dari Abi Sa’id al-Khudri Ra, di mana Rasulullah bersabda:

“Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.”

Dalam menjelaskan hadits ini, Syekh Nawawi menegaskan bahwa kata “رَأَى” mencakup makna melihat atau mengetahui. Frasa “مِنْكُمْ” merujuk kepada umat ini secara keseluruhan, bukan hanya kepada orang-orang yang hadir saat Rasulullah menyabdakannya. Sementara kata “مُنْكَرًا” merujuk kepada segala sesuatu yang tidak diridhai oleh Allah, baik dalam ucapan maupun perbuatan.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa setiap individu yang melihat atau mengetahui pelaku kemungkaran yang jelas haram memiliki kewajiban untuk mencegah dan menghentikannya dengan paksa jika mampu. Tahapan amar ma’ruf nahi mungkar, sebagaimana dijelaskan dalam hadits, meliputi pencegahan dengan tangan, lisan, dan jika kedua cara tersebut tidak memungkinkan, maka harus dilakukan pengingkaran dengan hati. Keheningan tanpa pengingkaran dalam hati dapat dianggap sebagai persetujuan terhadap kemungkaran tersebut.

Imam al-Ghazali dalam kitabnya yang terkenal, Ihya Ulumuddin, menguraikan tahapan amar ma’ruf nahi mungkar dengan lebih mendalam. Ia menggunakan istilah hisbah untuk menyebut nahi munkar dan menjelaskan bahwa praktik hisbah harus dilakukan secara berurutan:

  1. Menjelaskan bahwa perbuatan tersebut adalah sebuah kemungkaran atau haram.
  2. Menasihati pelakunya dengan bahasa lembut.
  3. Menasihati dengan bahasa tegas, seperti menegur langsung.
  4. Mencegahnya dengan paksa jika masih belum ada perubahan.
  5. Mengancam dan memukulnya jika semua langkah sebelumnya tidak berhasil.

Namun, langkah terakhir ini sebaiknya dilakukan hanya dengan izin dari pemerintah atau pihak berwenang untuk menghindari potensi konflik.

Dalam konteks maraknya judi online di Indonesia, UU ITE pasal 27 ayat 2 menyatakan bahwa pelaku judi online dapat dikenakan hukuman penjara paling lama enam tahun dan/atau denda maksimal Rp1 miliar. Kendati ada regulasi tersebut, kewajiban amar ma’ruf tidak hanya menjadi tanggung jawab pihak kepolisian atau Satgas Judi Online. Setiap warga negara memiliki peran penting dalam memberantas praktik judi online.

Langkah-langkah yang dapat diambil oleh warga negara Indonesia yang mengetahui pelaku judi online meliputi:

  1. Menjelaskan bahwa judi online adalah sebuah kemungkaran dan haram.
  2. Menasihati pelakunya dengan bahasa lembut.
  3. Menasihati pelakunya dengan bahasa tegas.
  4. Mencegahnya dengan paksa jika diperlukan.

Jika langkah-langkah tersebut tidak dapat dilakukan, paling tidak adalah mengingkarinya dalam hati. Langkah terakhir dalam upaya memberantas judi online adalah tanggung jawab pihak berwenang untuk memblokir situs judi online, membekukan transaksi terkait dan menghukum para pelakunya. Wallahu a’lam.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.