- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Tawaf dalam Kondisi Haid: Panduan bagi Jamaah Haji Wanita

Google Search Widget

Jamaah haji wanita yang mengalami haid setelah wukuf dan lontar jamrah aqabah atau tahallul sebaiknya menunggu hingga suci untuk melaksanakan tawaf ifadhah dan sa’i. Sebagian ulama berpendapat bahwa kesucian merupakan syarat sah tawaf, mengingat tawaf setara dengan ibadah shalat yang mengharuskan kesucian saat pelaksanaannya.

Perintah Nabi Muhammad saw kepada Sayyidatina Aisyah ra yang sedang haid saat berhaji menjadi dasar pemahaman ini. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Nabi bersabda:

“افْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ حَتَّى تَطَّهَّرِي.”

Artinya, “Lakukanlah apa yang dilakukan jamaah haji lain selain tawaf di Ka’bah sampai kamu suci.”

Tawaf sendiri diperintahkan dalam Surat Al-Hajj ayat 29:

وَلْيَطَّوَّفُوا۟ بِٱلْبَيْتِ ٱلْعَتِيقِ.

Artinya, “Hendaklah mereka tawaf di Baitullah yang tua sejarahnya.”

Bagi jamaah perempuan haid yang tidak sempat menunggu suci karena harus mengikuti jadwal keberangkatan ke Tanah Air atau ke Madinah, ada pendapat dari Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dan Ibnu Taimiyah yang membolehkan untuk tetap bertawaf dalam kondisi haid. Mereka dapat menunggu darah haid berkurang, mandi, menggunakan pembalut, dan melanjutkan tawaf serta sa’i di Masjidil Haram. Jamaah haji perempuan yang haid diperbolehkan untuk tawaf tanpa harus menunggu suci dan tidak akan terkena dam karena uzur jadwal pemulangan.

Dengan demikian, jamaah haji perempuan tersebut dapat menyelesaikan rukun hajinya dan mengikuti agenda pemberangkatan dan kepulangan sesuai jadwal. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah juga mengutip pendapat gurunya bahwa jamaah perempuan yang melaksanakan tawaf dalam kondisi haid tidak terkena dam haji jika disertai uzur.

“قال شيخنا فإذا طافت حائضًا مع عدم العذر توجّه القول بوجوب الدم عليها وأما مع العجز فهنا غاية ما يقال عليها دم؛ والأشبه أنه لا يجب الدم.”

Artinya, “Guru kami (Ibnu Taimiyah) berkata, ‘Bila jamaah haji perempuan melaksanakan tawaf dalam kondisi haidh tanpa uzur, pendapat mengarah pada kewajiban dam baginya. Tetapi kalau disertai uzur, maka sejauh-jauhnya terkena dam, tetapi lebih mendekati tidak wajib dam.’”

Al-Jauziyyah memahami bahwa tawaf sebaiknya dilaksanakan dalam kondisi suci, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Namun, dalam situasi uzur dan darurat, tawaf dapat dilakukan dalam keadaan hadats, khususnya haid.

“فظن من ظنّ أن هذا حكم عام في جميع الأحوال والأزمان. ولم يفرق بين حال القدرة والعجز.”

Artinya, “Sebagian orang mengira bahwa hukum ini berlaku umum pada segala kondisi dan waktu tanpa membedakan antara kemampuan dan ketidakmampuan.”

Keterangan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai pelaksanaan tawaf bagi jamaah haji wanita yang sedang haid.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

August 3

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?