- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Mabit di Mina dan Hukum Tanazul bagi Jamaah Haji

Google Search Widget

Mabit di Mina pada 11, 12, dan 13 Dzulhijjah, yang merupakan tiga malam tasyriq setelah wukuf di Arafah pada 9 Dzulhijjah, serta mabit di Muzdalifah pada malam 10 Dzulhijjah, adalah bagian penting dari manasik haji. Mabit di Mina dengan melewati sebagian besar malam setelah tengah malam, meskipun hanya sejenak, merupakan cara yang dibenarkan secara syar’i. Dalam kitab Nihayatuz Zain dijelaskan bahwa mabit di Mina pada tiga malam hari tasyriq adalah wajib dilakukan pada waktu mu’zhamul lail, yaitu sebagian besar malam, yang terukur dengan melebihi tengah malam walaupun hanya sesaat.

Hukum Mabit di Mina menjadi fokus pembahasan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) terkait hukum tanazul atau kembali ke penginapan hotel saat mabit di Mina. Sebelum membahas hukum tanazul, perlu dicermati perbedaan pendapat ulama mengenai hukum mabit di Mina itu sendiri.

Menurut Imam Malik, Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal, hukum mabit di Mina adalah wajib. Jamaah haji yang tidak mabit selama satu malam wajib membayar satu mud, dua malam wajib membayar dua mud, dan jika tidak mabit selama tiga malam, wajib membayar dam dengan menyembelih seekor kambing. Sementara itu, menurut Imam Abu Hanifah dan qaul jadid Imam Syafi’i, hukum mabit di Mina dikategorikan sunnah. Jamaah haji yang tidak mabit di Mina tidak diwajibkan membayar dam, karena dalam pandangan mereka, mabit di Mina bukanlah kewajiban.

Bagi jamaah yang mengalami uzur syar’i diperbolehkan untuk tidak mabit di Mina tanpa terkena kewajiban membayar dam. Imam Nawawi menjelaskan bahwa orang yang termasuk uzur adalah mereka yang takut kehilangan harta, khawatir sakit, sedang sakit, atau merawat orang yang sakit. Dalam riwayat Ibnu Umar, Al-Abbas meminta izin kepada Rasulullah untuk bermalam di Makkah guna mengurusi air minum pada malam-malam mabit di Mina dan Rasulullah mengizinkannya.

PBNU memutuskan bahwa pelaksanaan tanazul bagi sebagian jamaah haji yang ditetapkan Kementerian Agama RI saat mabit di Mina dapat menjadi solusi fiqih atas kepadatan jamaah. Mengingat keterbatasan space tenda Mina dan fasilitas umum yang kurang memadai, serta demi kesehatan dan keselamatan jamaah, kebijakan pemerintah untuk mentanazulkan jamaah haji yang tinggal di Syiyah dan Raudhah ke hotel merupakan langkah yang tepat.

Jamaah haji yang ditanazulkan dapat memasuki kawasan Mina untuk mabit dengan memenuhi kriteria mu’zhamul lail di sekitar jamarat dan minimal berada di Mina sebelum fajar hingga subuh agar dapat langsung melontar jamrah. Bagi yang memilih untuk tidak mabit di Mina, mereka tidak terkena kewajiban membayar dam atau termasuk dalam kategori jamaah uzur.

Dalam konteks ini, jamaah haji yang mengalami uzur tidak dikenakan bayar dam ketika meninggalkan mabit. Dengan berbagai pandangan hukum ini, ibadah haji jamaah yang tanazul tetap sah menurut syariat tanpa mengurangi keabsahan pelaksanaan ibadah.

Kondisi Mina pada tahun 2024 menunjukkan kepadatan jamaah yang tinggi, bukan hanya karena tambahan kuota, tetapi juga disebabkan oleh kebijakan Arab Saudi yang tidak lagi menggunakan maktab 1-9 di Mina Jadid. Kepadatan ini berpotensi meningkatkan angka penyakit, terutama bagi jamaah lansia yang lemah. Dengan estimasi ruang per jamaah hanya seluas 0,87 m² dan keterbatasan fasilitas umum seperti toilet, antrean menjelang waktu shalat tak terhindarkan.

Dari jumlah jamaah haji reguler 2024 sebanyak 213.320 orang, sekitar 45.000 (21,09%) adalah jamaah lansia yang dalam keadaan lemah atau sakit. Untuk mengurangi kepadatan tenda Mina dan mempertimbangkan kesehatan serta keselamatan jamaah, sebagian dari mereka, terutama yang tinggal dekat Mina, ditanazulkan ke hotel dan tidak mabit di tenda Mina. Mereka hanya kembali ke Mina untuk melontar jamrah. Demikian keterangan ini disampaikan dengan harapan dapat dipahami dengan baik.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

February 6

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?