Khutbah Jumat merupakan momen penting dalam syariat Islam sebagai sarana untuk menyampaikan pesan-pesan keagamaan. Khatib seringkali merujuk pada hadits Nabi Muhammad SAW sebagai landasan dari pesan-pesan yang disampaikan. Menyampaikan hadits Rasulullah SAW adalah amal baik karena memberikan gambaran tentang pola kehidupan Nabi, terutama terkait dengan tema khutbah.
Dalam penelitiannya mengenai kualitas hadits yang disampaikan oleh khatib di Masjid Pemerintah Kota Langsa, Aceh, Nurmiswari mencatat bahwa beberapa hadits sering diambil dari literatur seperti Shahih al-Bukhari dan Muslim, serta dari sumber lain yang mungkin tidak terverifikasi kualitasnya. Beberapa literatur tersebut, seperti Durratun Nashihin dan Ta’limul Muta’allim, mengandung hadits yang problematik. Hal ini menunjukkan bahwa hadits dha’if bisa ditemukan di mana saja, terutama ketika pengutipan berasal dari literatur yang tidak melalui proses penyuntingan oleh ahli dalam bidang hadits dan filologi.
Penting untuk dicatat bahwa penyampaian hadits dalam khutbah Jumat bukanlah syarat mutlak untuk keabsahan khutbah itu sendiri. Selain itu, khutbah bukan forum akademik dan sifat penyampaiannya adalah monolog. Oleh karena itu, kritik terhadap otentisitas dan validitas hadits yang dijadikan rujukan oleh khatib mungkin tidak menjadi perhatian utama.
Namun, para ulama berpendapat bahwa seorang khatib harus berhati-hati dalam menyampaikan informasi kepada umat, terutama ketika merujuk pada hadits Rasulullah. Sumber hadits yang disebutkan perlu dijelaskan. Ibnu Hajar al-Haitami pernah menjelaskan bahwa menyebutkan hadits tanpa menjelaskan perawinya diperbolehkan dengan syarat bahwa khatib tersebut adalah orang yang berkompeten dalam ilmu hadits atau mengutip dari penulis yang ahli. Mengandalkan hadits hanya berdasarkan buku yang tidak ditulis oleh ahli hadits adalah tindakan yang tidak diperbolehkan.
Ibnu Hajar juga menekankan pentingnya bagi khatib untuk menjelaskan sumber dari hadits yang disampaikan. Jika sumbernya shahih, tidak ada masalah. Namun, jika tidak, pemerintah setempat berhak untuk mengkritik bahkan mencopot khatib dari jabatannya jika kinerjanya dianggap kurang kompeten.
Di Indonesia, situasi ini mungkin berbeda. Petugas khatib di Indonesia tidak selalu berada di bawah pengawasan ketat pemerintah terkait kualitas hadits yang disampaikan. Walaupun begitu, penting bagi para khatib di Indonesia untuk lebih teliti dalam mengutip hadits agar pesan yang disampaikan benar-benar bersumber dari Rasulullah SAW. Dengan demikian, mereka akan mengamalkan prinsip kehati-hatian dalam menyampaikan hadits, sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW.