Dalam Islam, terdapat sekelompok orang yang menolak musik, baik itu dalam bentuk mendengarkan maupun menyanyikannya, dengan anggapan bahwa musik adalah sumber kelalaian. Namun, kelalaian sebenarnya dapat muncul dari berbagai sumber, tidak hanya musik.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), musik memiliki dua makna: pertama, ilmu atau seni menyusun nada atau suara dalam urutan, kombinasi, dan hubungan temporal untuk menghasilkan komposisi yang memiliki kesatuan dan kesinambungan; kedua, nada atau suara yang disusun sedemikian rupa sehingga mengandung irama, lagu, dan keharmonisan.
Patrick G. Hunter dan E. Glenn Schellenberg dalam karya mereka yang berjudul “Music and Emotion” menjelaskan adanya hubungan erat antara musik dan emosi pendengarnya. Mereka menyatakan bahwa saat mendengarkan musik, umumnya pendengar merespons secara afektif. Penelitian menunjukkan bahwa musik dapat meningkatkan konsentrasi pelajar. Selain itu, musik juga berkontribusi pada pengelolaan emosi yang baik.
Namun, di sisi lain, musik juga dapat memiliki dampak negatif. Musik dengan lirik yang berisi kekerasan dan unsur agresivitas dapat mendorong tindakan anarki dan perilaku agresif pada pendengarnya. Lirik yang mengandung ajakan untuk mengonsumsi alkohol dapat menjadi motivasi bagi pendengarnya untuk terlibat dalam perilaku negatif tersebut.
Dari beberapa penelitian di atas, terlihat bahwa musik dapat menjadi media yang membawa energi positif maupun negatif. Oleh karena itu, hukum mendengarkan musik dalam Islam pun diinterpretasikan oleh para ulama sesuai dengan substansi liriknya.
Mengacu pada hadits Rasulullah saw, terdapat sisi emosional dalam syair atau lagu. Rasulullah saw bersabda:
إن من البيان لسحرا
Artinya: “Sesungguhnya sebagian penjelasan (tutur kata) itu sungguh mengandung efek layaknya sihir.” (HR Al-Bukhari dan Abu Dawud).
Hadits ini berkaitan dengan kedatangan dua orang dari timur pada zaman Rasulullah yang pidatonya membuat para pendengar takjub. Rasulullah menanggapi bahwa kata-kata yang disusun dengan baik dan indah memiliki efek seperti sihir.
Hadits ini merupakan hadits shahih karena terdapat dalam Shahih al-Bukhari. Para ulama ahli tafsir memberikan beragam makna terhadap hadits tersebut. Misalnya, Ibnu Ruslan dalam Syarh Sunan Abu Dawud menyatakan bahwa kemampuan seseorang dalam menyusun kata-kata dapat mempengaruhi banyak orang, sehingga pendengar merasa seolah tersihir.
Penjelasan ini sejalan dengan fakta bahwa kata-kata yang disampaikan secara retoris dapat memengaruhi emosi pendengar. Hal ini mirip dengan lagu dan musik, di mana pengaruh emosional dapat diperoleh dari instrumen dan substansi liriknya.
Al-Munawi dalam Faydhul Qadir lebih fokus pada isu hukum melalui interpretasi teks hadits tersebut. Ia berpendapat bahwa sebagaimana sihir bisa mendatangkan dosa, kata-kata retoris yang manipulatif juga bisa membawa dosa. Namun, tidak semua kata-kata tersebut berdampak negatif.
Jika lagu atau musik dianggap sebagai faktor yang membuat seorang Muslim lalai dari kewajibannya, ada pula ulama yang menafsirkan bahwa kata-kata yang bisa membuat pendengarnya seolah tersihir dapat menyebabkan mereka lupa akan kewajiban mereka. Pendapat ini disampaikan oleh al-Fayumi dan dikutip oleh al-Wallawi.
Kajian hadits mengenai musik dan pengaruhnya terhadap emosi menunjukkan bahwa musik memiliki kemampuan untuk memberikan dampak positif maupun negatif pada pendengarnya. Perbedaan tafsiran ulama mencerminkan bahwa pengaruh kata-kata yang retoris—serupa dengan lirik lagu—bergantung pada substansi dan penyajiannya. Dengan demikian, hukum mendengarkan musik dalam Islam bervariasi tergantung pada isi lirik dan dampaknya terhadap individu, baik secara positif maupun negatif.