- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Sejarah dan Penyimpangan Ibadah Haji dalam Islam

Google Search Widget

Banyak ritual keagamaan dalam Islam yang sebenarnya sudah dipraktikkan oleh orang-orang pada zaman jahiliah, salah satunya adalah ibadah haji. Sebelum Islam datang, bangsa Arab sudah melakukan ibadah rukun kelima dalam Islam ini. Hanya saja, tata caranya banyak menyimpang dari nilai-nilai Islam, seperti thawaf mengelilingi ka’bah tanpa mengenakan busana dan memenuhi ka’bah dengan berhala.

Ibadah haji mulai disyariatkan sejak zaman Nabi Ibrahim as. Allah swt dalam Al-Qur’an berfirman,

وَإِذۡ بَوَّأۡنَا لِإِبۡرَٰهِيمَ مَكَانَ ٱلۡبَيۡتِ أَن لَّا تُشۡرِكۡ بِي شَيۡ‍ٔٗا وَطَهِّرۡ بَيۡتِيَ لِلطَّآئِفِينَ وَٱلۡقَآئِمِينَ وَٱلرُّكَّعِ ٱلسُّجُودِ وَأَذِّن فِي ٱلنَّاسِ بِٱلۡحَجِّ يَأۡتُوكَ رِجَالٗا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٖ يَأۡتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٖ

Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): ‘Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku’ dan sujud. Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj [22]: 26-27)

Setelah Nabi Ibrahim menyelesaikan pembangunan ka’bah, Allah swt memerintahkannya untuk menyerukan azan dan memberitahu manusia tentang ibadah haji. Ketika Ibrahim merasa bingung mengenai bagaimana suaranya bisa didengar, Allah menjawab, “Wahai Ibrahim, Aku yang akan melantangkan suaramu.”

Ibrahim pun naik ke gunung Qubais dan berseru, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah telah mewajibkan ibadah haji, maka berhajilah!” Seketika itu juga, seluruh manusia yang masih berada dalam alam awah menjawab seruan tersebut. Sejak saat itu pula, disyariatkan untuk melakukan haji dan membaca talbiyah dengan redaksi berikut,

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ

Artinya: “Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Sungguh, segala puji, nikmat, dan segala kekuasaan adalah milik-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu.”

Seiring berjalannya waktu, banyak nilai-nilai yang tereduksi di lingkungan bangsa Arab, termasuk ajaran agama Ibrahim atau agama Ḫanif. Semua bermula ketika Amr bin Luhay bin Qam’ah, seorang leluhur suku Khuza’ah, membawa berhala pertama ke Makkah dan mengajak masyarakat untuk menyembahnya. Berhala itu bernama Hubal yang ia peroleh dari Syam.

Salah satu bukti pergeseran saat itu terlihat dari perubahan lafal talbiyah sebagai berikut,

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ. لَبَّيْكَ لَا شَرِيْكَ إِلَّا شَرِيْكٌ هُوَ لَكَ. تَمْلِيْكُهُ وَ مَا لَكَ

Artinya: “Aku menyambut seruan-Mu ya Allah, aku menyambut seruan-Mu. Tiada sekutu kecuali sekutu yang Engkau miliki. Yang Engkau miliki dan dia miliki pula.”

Selain perubahan lafal talbiyah, praktik pelaksanaan haji pada masa jahiliyah juga mengalami banyak penyimpangan. Salah satunya adalah thawaf tanpa mengenakan busana, baik laki-laki maupun perempuan. Mereka beranggapan bahwa saat melakukan thawaf, tubuh harus dalam keadaan suci, termasuk melepas busana yang pernah mereka kenakan saat berbuat dosa.

“Mereka melakukan thawaf ini dalam keadaan seperti ketika dilahirkan oleh ibu-ibu mereka,” kata mereka.

Bagi perempuan, mereka hanya menutupi bagian kemaluan dengan secarik kain. Kendati demikian, tidak semua orang Arab jahiliah thawaf dengan telanjang; suku Quraisy tetap mengenakan pakaian. Suku lain harus meminjam pakaian dari suku Quraisy atau menggunakan pakaian baru untuk bisa thawaf dengan pakaian. Mereka yang tidak bisa meminjam atau membeli pakaian baru tidak ada pilihan lain selain thawaf tanpa busana.

Praktik penyimpangan lainnya adalah thawaf dengan tujuan menghormati berhala bernama Manat. Pada masa jahiliah, kaum Anshar melakukan thawaf bukan di antara bukit Shafa dan Marwah seperti sekarang, tetapi dengan mengelilingi patung Manat.

Dalam keyakinan mereka saat itu, siapa yang melakukan thawaf untuk menghormati Manat haram untuk thawaf di antara bukit Shafa dan Marwah. Setelah masuk Islam, kaum Anshar bertanya kepada Rasulullah mengenai hal tersebut. Kemudian turunlah ayat Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 158,

إِنَّ ٱلصَّفَا وَٱلۡمَرۡوَةَ مِن شَعَآئِرِ ٱللَّهِۖ فَمَنۡ حَجَّ ٱلۡبَيۡتَ أَوِ ٱعۡتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَاۚ وَمَن تَطَوَّعَ خَيۡرٗا فَإِنَّ ٱللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ

Artinya: “Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber’umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.”

Sejak kedatangan Islam di Makkah, pelaksanaan ibadah haji direvisi agar sesuai dengan nilai-nilai Islam, termasuk memusnahkan sejumlah berhala yang ada di sekitar bangunan Ka’bah.

Ibadah haji memang sudah ada sejak masa Nabi Ibrahim, dan ketika Islam datang, ibadah tersebut tetap berlaku dengan membersihkannya dari praktik-praktik jahiliyah yang jauh dari ajaran Nabi Muhammad saw.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

November 25

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?