Halimah as-Sa’diyah dikenal sebagai perempuan kedua yang menyusui Nabi Muhammad setelah Tsuwaibah. Nama Sa’diyah sendiri merujuk pada leluhurnya yang ke-9, Sa’d bin Bakr, yang juga menjadi nama kabilah dan tempat tinggal Halimah.
Suatu hari, Halimah beserta suaminya, Harits bin Abdul Uzza, dan anaknya yang masih bayi, memutuskan untuk pergi ke Makkah dengan harapan mendapatkan rezeki, khususnya melalui jasa menyusui. Namun, saat tiba di Makkah, Halimah mengalami kesulitan karena tidak ada masyarakat yang mau menggunakan jasanya. Penampilan dan kondisi ekonominya membuat warga Makkah berpikir bahwa ASI dari orang miskin tidak berkualitas dan kurang gizi, sehingga mereka enggan untuk memilihnya.
Akhirnya, Halimah diterima oleh Aminah untuk menyusui dan mengasuh putra kesayangannya, Muhammad bin Abdullah. Sejak saat itu, kehidupan Halimah mengalami perubahan drastis. Dalam kitab Madarijus Su’ud, Syekh Nawawi Al-Bantani menulis bahwa kehidupan Halimah yang sebelumnya sempit menjadi lapang sebelum ia mulai menyusui Nabi Muhammad.
Menariknya, keesokan malam sebelum Halimah menyusui bayi mulia ini, ASI-nya mendadak melimpah. Keberkahan pun datang menggantikan kemiskinan yang dialaminya. Tidak hanya itu, hewan ternak milik Halimah yang dibawa ke Makkah juga berubah menjadi gemuk dan subur.
Transformasi kehidupan Halimah sangat nyata setelah ia mengasuh Muhammad kecil. Ia sangat berhati-hati dengan Nabi Muhammad, tidak membiarkannya bermain jauh dari pandangannya karena khawatir terjadi hal-hal buruk seperti penculikan atau serangan binatang buas. Rasa takut Halimah dipicu oleh dua faktor: pertama, ia khawatir keberkahan dan rezeki berlimpah yang diperoleh akan lenyap; kedua, ia takut pada Abdul Muthalib karena dianggap lalai dalam mengasuh cucunya.
Setelah dua tahun mengasuh, masa kontrak selesai dan Halimah harus mengembalikan Muhammad kepada ibunya, Aminah. Belum siap berpisah, ia meminta perpanjangan kontrak dan permohonannya pun diterima selama kurang lebih dua tahun lagi.
Waktu berlalu dengan cepat, dan meskipun berat hati harus berpisah dengan Nabi Muhammad, Halimah tetap profesional. Sayangnya, setelah tidak lagi mengasuh Nabi Muhammad, kehidupannya kembali ke keadaan semula yang penuh kesulitan.
Beberapa puluh tahun kemudian, Halimah bertemu kembali dengan Nabi Muhammad dan Khadijah. Dalam pertemuan itu, ia mengeluhkan hidupnya yang serba kekurangan. Dengan penuh kasih sayang, Nabi Muhammad memenuhi semua kebutuhannya mulai dari makanan hingga pakaian dan ternak.
Perjalanan hidup Halimah as-Sa’diyah menunjukkan bagaimana keberkahan dapat mengubah nasib seseorang dan bagaimana kasih sayang Nabi Muhammad terus mengalir kepada sosok yang telah berperan penting dalam masa kecilnya.