Setelah wafatnya Nabi Muhammad, prinsip musyawarah dalam pemilihan pemimpin telah diterapkan dengan baik di kalangan kaum Muslimin. Mereka yang sudah terbiasa dengan prinsip ukhuwah Islamiyah berusaha untuk mengedepankan kesepakatan bersama dan menerapkan hasil musyawarah dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana yang telah berlangsung sejak era kenabian.
Namun, di balik kelancaran musyawarah yang secara aklamasi menunjuk Abu Bakar sebagai kepala negara, terjadi perdebatan sengit antara sahabat Anshar dan Muhajirin. Perdebatan ini merupakan hal yang wajar dalam konteks keterbukaan musyawarah, tetapi akhirnya berujung pada pengakuan kesukuan.
Dalam musyawarah tersebut, suku Khazraj mencalonkan Sa’ad bin Ubadah sebagai khalifah pasca-Rasulullah, sementara suku Aus tidak bersedia menerima pencalonan tersebut dan lebih memilih calon dari kaum Muhajirin. Meskipun suku Khazraj bersikukuh untuk mengangkat khalifah, kaum Muhajirin juga mempertahankan pendirian mereka.
Pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah melalui musyawarah menunjukkan proses yang terbuka, ditandai dengan perdebatan antara kaum Anshar dan Muhajirin. Namun, akhirnya, melalui musyawarah mufakat, Abu Bakar As-Shiddiq terpilih sebagai pemimpin.
Perdebatan yang sengit tersebut dapat ditengahi oleh Abu Bakar melalui pidatonya yang menyejukkan hati. Dia berhasil menyatukan perbedaan antara dua kubu tersebut, dan substansi pidatonya dapat diterima oleh seluruh kaum Anshar dan Muhajirin berkat ketulusan hatinya yang tidak memiliki ambisi untuk menjadi kepala negara.
Dalam pidatonya, Abu Bakar mengungkapkan beberapa poin penting: pertama, dia mengakui bahwa dirinya bukanlah orang terbaik di antara mereka. Kedua, dia berharap untuk dibantu selama menjalankan tugas dengan baik dan harus diluruskan jika berbuat salah. Ketiga, dia berkomitmen untuk memberikan hak kepada setiap orang tanpa membedakan status sosial. Keempat, ketaatan kepadanya bergantung pada ketaatannya kepada Allah.
Sebelum Nabi Muhammad wafat, Abu Bakar diminta untuk menggantikan Rasul dalam shalat, yang menjadi tanda bahwa ia adalah pemimpin baru umat Islam. Namun, meskipun telah ada tuntutan tersebut, para sahabat tetap harus melalui proses musyawarah untuk menetapkan pemimpin.
Abu Bakar tidak memiliki keinginan untuk menggantikan Rasulullah. Sifat lembut dan kesabarannya membuatnya lebih fokus mengurus jenazah Nabi Muhammad saat para sahabat lainnya, terutama dari kalangan Anshar, memikirkan transisi kepemimpinan. Bersama Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar mengurus jenazah Rasulullah.
Ketika berita mengenai pengumpulan sahabat Anshar di Tsaqifah Bani Saidah untuk mengangkat pengganti Nabi Muhammad sampai kepada Umar bin Khattab, ia terkejut dan meminta bantuan untuk memanggil Abu Bakar. Meskipun akhirnya para sahabat Anshar dan Muhajirin membaiat Abu Bakar, transisi kepemimpinan pasca-Nabi ini tetap menimbulkan perselisihan di antara mereka.
Ali bin Abi Thalib menyayangkan perselisihan tersebut. Di saat umat sedang berduka, dia merasa kurang tepat membicarakan pengganti Nabi. Meskipun demikian, Ali akhirnya ikut membaiat Abu Bakar.
Abu Bakar menjadi penerus Nabi Muhammad pada 8 Juni 632 M, melaksanakan semua tugas dan meneladani keistimewaan Nabi kecuali yang berkaitan dengan kenabian. Sebelum wafatnya, Rasulullah tidak menunjuk pengganti secara langsung, tetapi meninggalkan wasiat agar umat tetap berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah.
Sistem pemilihan khalifah didasarkan pada musyawarah atau kesepakatan umat, bukan hanya pada penunjukan atau garis keturunan. Dalam perkembangan selanjutnya, pengelolaan negara mengalami perubahan sistem pemerintahan yang beragam, termasuk dinasti, kerajaan, dan republik.