- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Kesetiaan Abu Bakar dalam Mendukung Rasulullah

Google Search Widget

Salah satu sahabat Nabi yang paling setia dalam mendampingi Rasulullah dalam menyebarkan ajaran Islam adalah Abu Bakar. Ke mana pun Rasulullah pergi, ia selalu siap untuk mendampinginya, tanpa mempedulikan keadaan yang ada. Salah satu contoh nyata kesetiaannya adalah saat Nabi hijrah ke Madinah, di mana ia menjadi satu-satunya sahabat yang menemani perjalanan tersebut.

Loyalitas Abu Bakar terhadap ajaran yang dibawa oleh Nabi tidak dapat diragukan. Ketika Islam membutuhkan dukungan, ia dengan tulus membagikan semua hartanya untuk disumbangkan, tanpa memikirkan nasibnya setelah itu. Keimanan yang kuat dalam dirinya telah mengalahkan segala keraguan. Ia rela kehilangan semua harta demi kemajuan dan perkembangan Islam.

Abu Bakar juga dikenal sebagai sahabat Nabi yang memiliki iman yang sangat kuat. Ia langsung mempercayai apa pun yang disampaikan oleh Nabi, tanpa perlu bertanya atau meragukannya. Salah satu momen penting adalah ketika kabar Isra Mi’raj menyebar di semenanjung Arab.

Saat itu, orang-orang Quraisy yang mengetahui bahwa Abu Bakar belum mendengar kabar tersebut segera mendatanginya untuk mencemooh dan menghina Nabi di hadapannya. Mereka berharap Abu Bakar akan meragukan dan tidak mempercayai peristiwa luar biasa yang dialami Rasulullah dalam waktu yang sangat singkat.

Setelah mereka menceritakan semua kejadian yang dianggap tidak masuk akal itu, Abu Bakar dengan tenang bertanya, “Apakah Rasulullah benar berkata demikian?”

“Iya,” jawab orang-orang Quraisy. Mereka terus mendebat dan membantah, menyatakan bahwa Abu Bakar tidak waras jika percaya pada Isra Mi’raj yang dianggap tidak logis. Namun, dengan tegas dan penuh keyakinan, ia menjawab,

أَنَا صَدَقْتُهُ فِي خَبَرِ السَّمَاءِ فَكَيْفَ أُكَذِّبُهُ فِي ذَلِكَ، مَادَامَ قَالَ فَقَدْ صَدَقَ

Artinya, “Sungguh saya telah membenarkannya perihal khabar langit (Mi’raj), maka bagaimana mungkin saya mengingkarinya dalam peristiwa itu (Isra). Selama (Rasulullah) berkata, maka sungguh dia benar.”

Jawaban ini menggambarkan bahwa iman yang sejati adalah iman yang tidak mempertanyakan apa pun yang dilakukan oleh pembawa risalah; semua harus percaya dan beriman kepadanya, meskipun hal itu tampak tidak masuk akal.

Dalam catatan sejarah lainnya, ketika kabar Isra Nabi Muhammad mulai tersebar, banyak umat Islam yang murtad dan mengingkarinya. Di sisi lain, orang-orang musyrik mencoba melemahkan keimanan Abu Bakar dengan cara memfitnah Nabi mengenai perjalanan singkatnya dari Makkah ke Masjidil Aqsha. Mereka bertanya kepada Abu Bakar,

“Bagaimana pendapatmu tentang sahabatmu (Rasulullah) yang mengaku telah diperjalankan dari Makkah ke Baitul Maqdis?”

Mendengar pertanyaan itu, Abu Bakar tidak segera menjawab, tetapi bertanya balik, “Apakah Rasulullah sendiri yang mengatakan demikian?”

“Ya,” jawab mereka singkat. Kemudian dengan tegas, Abu Bakar menyatakan, “Jika benar Rasulullah mengatakan demikian, maka semua itu adalah kebenaran dan saya percaya kepadanya.”

Orang-orang Quraisy semakin berusaha untuk melemahkan keyakinan Abu Bakar dengan mempertanyakan rasionalitas kabar tersebut. Mereka mengatakan, “Masak iya, kamu percaya bahwa Muhammad telah pergi ke Syam di malam hari dan kembali ke sini (Makkah) sebelum waktu Subuh?”

Sayyidina Abu Bakar yang yakin akan kebenaran Rasulullah kembali menegaskan keyakinannya. Ia berkata,

نَعَمْ، اِنِّي لَأُصَدِّقُهُ فَيْمَا هُوَ أَبْعَدُ مِنْ ذَلِكَ أُصَدِّقُهُ فِي خَبَرِ السَّمَاءِ فِي غَدْوَةٍ وَرَوْحَةٍ

Artinya, “Iya, aku membenarkannya, bahkan kabar yang lebih dari itu (Mi’raj), aku akan membenarkannya mengenai wahyu yang ia terima dari langit di pagi atau pun sore hari.”

Demikianlah reaksi Sayyidina Abu Bakar ketika mendengar kabar tentang Isra dan Mi’raj. Ia segera mempercayai semuanya, bahkan tidak mendengar langsung dari Nabi pun bukan alasan untuk meragukannya. Kualitas keimanannya sangat tinggi. Ketika banyak sahabat lain ingkar, ia adalah orang pertama yang membenarkan Nabi.

Dari sinilah Abu Bakar mendapatkan gelar “as-Siddiq” (orang yang paling benar), karena tingkat kepercayaannya kepada Rasulullah tidak memerlukan bukti apa pun. Melalui kisah ini, semoga kita dapat meneladani keimanan Abu Bakar.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

April 24

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?