Ketidakjelasan peraturan dalam pengangkatan khalifah di Dinasti Abbasiyah sering kali menimbulkan instabilitas politik. Hal ini terlihat jelas pada masa pemerintahan Al-Muqtadir, seorang khalifah yang diangkat pada usia 13 tahun. Masa pemerintahannya yang kacau berakhir tragis ketika ia dibunuh oleh lawan politiknya pada 27 Syawal 320 H.
Setelah kakaknya, Al-Muktafi Billah, meninggal dunia karena sakit, Ja’far bin Al-Mu’tadhid, yang masih berusia 13 tahun, ditunjuk sebagai khalifah berikutnya. Dalam konteks tersebut, pertanyaan muncul mengenai kedewasaannya, dan Ja’far menjawab bahwa ia telah mengalami mimpi basah, sehingga ia dianggap sudah baligh. Dengan demikian, ia diangkat sebagai khalifah dan dikenal dengan gelar “Al-Muqtadir Billah.” Meskipun kriteria baligh terdengar konyol, sistem oligarki tanpa aturan yang jelas ini berkontribusi pada instabilitas pemerintahan.
Karena usianya yang terlalu muda, Al-Muqtadir menghadapi banyak ancaman untuk dilengserkan, termasuk dari menterinya sendiri, Al-Abbas bin Al-Hasan, yang merencanakan kudeta didukung oleh sejumlah pihak. Namun, Al-Muqtadir berhasil membujuk Al-Abbas untuk membatalkan rencananya dengan imbalan sejumlah uang. Sayangnya, pihak-pihak lain tetap melanjutkan rencana penggulingan.
Suatu ketika, ketika Al-Muqtadir tengah bermain bola, para pemberontak datang menyerang. Ketika terdesak, ia melarikan diri ke istana, namun banyak penduduk yang menjadi korban dalam kerusuhan tersebut. Dalam kekacauan itu, Al-Muqtadir dicopot dari jabatannya dan digantikan oleh Abdullah bin Mu’taz yang bergelar “Al-Ghalib Billah.” Abdullah kemudian mengangkat Muhammad bin Daud sebagai menteri dan Abul Mutsanna Ahmad bin Ya’qub sebagai hakim agung. Kejadian ini terjadi pada 296 H, dan Al-Muqtadir diusir dari istana.
Namun, setelah berpikir untuk melakukan serangan balik dengan sejumlah pendampingnya, Al-Muqtadir menyerang secara mendadak tempat Abdullah bin Mu’taz berada. Kejutan ini membuat pasukan Abdullah panik dan melarikan diri. Al-Muqtadir pun mengambil tindakan balas dendam dengan menghabisi para pemimpin yang mencopotnya dan memenjarakan Abdullah hingga meninggal.
Setelah kembali menduduki kursi kekhalifahan, Al-Muqtadir berusaha memberantas kezaliman dan menegakkan keadilan. Namun, usia mudanya membuatnya mudah dipengaruhi oleh orang-orang di sekitarnya, termasuk ibunya. Oleh karena itu, ia sering dianggap sebagai “khalifah boneka.”
Pada tahun 317 H, upaya pencopotan kekhalifahan terjadi lagi. Kali ini Mu’nis al-Mudzaffar menjadi otak di balik rencana tersebut. Setelah Al-Muqtadir berencana mencopot Mu’nis dan menggantinya dengan Harun bin Ghalib, Mu’nis yang merasa tidak terima melakukan pemberontakan dengan membawa pasukan besar. Pengawal istana pun melarikan diri saat melihat banyaknya pemberontak. Al-Muqtadir diusir dari istana bersama keluarganya.
Kursi kekhalifahan kemudian diduduki oleh Muhammad bin Al-Muhtadhid dengan gelar “Al-Qahir Billah,” namun ia tidak dapat memenuhi gaji para tentara istana seperti yang dilakukan Al-Muqtadir sebelumnya. Hal ini menimbulkan pemberontakan yang menuntut agar Al-Muqtadir kembali diangkat sebagai khalifah. Dalam situasi tersebut, Al-Muqtadir kembali menduduki jabatan semula dan menaikkan gaji tentaranya.
Namun, Mu’nis masih menyimpan dendam kepada Al-Muqtadir. Pada 27 Syawal 319 H, ia kembali melakukan pemberontakan dengan pasukan dari orang Barbar. Dalam pertempuran itu, Al-Muqtadir terkena tombak dan akhirnya dibunuh. Jenazahnya dikuburkan di lokasi pertempuran.
Al-Muqtadir meninggalkan dua belas putra, di mana tiga di antaranya kelak menjadi khalifah: Ar-Radhi, Al-Muttaqi, dan Al-Muthi’.