Perang Bani Musthaliq atau Muraisi’ yang terjadi pada bulan Sya’ban merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah Islam. Meskipun hanya perang kecil, peristiwa ini menyimpan kisah tentang pengaruh kaum munafik yang hampir saja memecah belah umat Muslim. Perang ini juga dikenal dengan nama lain seperti Perang Maharib dan Perang A’ajib.
Menurut sejarawan Safyurrahman al-Mubarakfuri dalam bukunya Rahiqul Makhtum, perang ini terjadi pada bulan Sya’ban tahun 6 H menurut pendapat yang lebih benar. Sementara itu, sejarawan Nuruddin al-Halbi dalam Sirah al-Halbiyah menyebutkan bahwa perang ini terjadi pada tahun 5 H, dan ada pula yang mengatakan 4 H.
Penyebab peperangan ini bermula saat Rasulullah saw mendapat informasi bahwa pimpinan Bani Musthaliq, Al-Harits bin Abu Dhirar, sedang menghimpun pasukan untuk menyerang kaum Muslim. Nabi pun menugasi Buraidah bin al-Husaib untuk mencari kebenaran kabar tersebut. Buraidah langsung mendatangi Al-Harits bin Abu Dhirar untuk mendapatkan informasi yang akurat. Setelah kabar penyerangan Bani Musthaliq terbukti valid, Rasulullah menghimpun tentara Muslim untuk berangkat berperang dua hari sebelum akhir bulan Sya’ban.
Di dalam rombongan tersebut turut pula orang-orang munafik yang ikut serta bukan karena ingin berjihad, tetapi karena ada motif lain. Wakil yang ditugasi Nabi untuk sementara memegang urusan Madinah adalah Zaid bin Haritsah, meskipun ada versi lain yang menyebutkan Abu Dzarr atau Numailah bin Abdullah al-Laitsi.
Di pihak musuh, Al-Harits bin Abu Dhirar mengutus mata-mata untuk memantau pergerakan tentara Muslim. Namun, mata-mata tersebut terbunuh sehingga membuat musuh panik dan beberapa kabilah Arab yang semula bergabung dengan tentara Bani Musthaliq mulai melepaskan diri.
Setibanya di Muraisi, pasukan Muslim bersiap untuk melakukan serangan. Rasulullah membariskan tentara dengan bendera kaum Muhajirin dipegang oleh Abu Bakar dan bendera kaum Anshar dipegang oleh Sa’ad bin ‘Ubadah. Serangan serentak pasukan Muslim berhasil menundukkan musuh dengan cepat. Banyak dari mereka yang terbunuh, sementara anak-anak dan perempuan menjadi tawanan perang dan binatang ternak menjadi rampasan (ghanimah). Namun, Ibnul Qayyim menyatakan fakta yang sebenarnya tidak sempat terjadi pertempuran.
Salah satu peristiwa penting dari perang ini adalah fitnah yang menimpa Sayyidah Aisyah, istri Nabi. Setelah peperangan usai, pasukan Muslim berkemas untuk kembali ke Madinah. Aisyah yang ikut dalam peperangan tersebut menunggangi tandu yang dipikul beberapa sahabat. Ketika pasukan sudah siap berangkat, kalungnya hilang dan ia kembali mencarinya tanpa diketahui para penandu tandu. Mereka berangkat tanpa menyadari bahwa Aisyah belum naik.
Aisyah menemukan kalung itu namun tertinggal dari rombongan. Dalam keadaan kelelahan, ia tertidur dan secara kebetulan dilihat oleh Shafwan bin Mu’atthal yang juga tertinggal dari rombongan. Shafwan menawarinya tunggangan unta miliknya untuk menyusul rombongan.
Ketika mereka tiba di rombongan, terjadi kasak-kusuk di kalangan sahabat tentang Aisyah yang membonceng unta Shafwan. Abdullah bin Ubay, tokoh kaum munafik, segera menyebarkan fitnah tentang perselingkuhan Aisyah ke seluruh penduduk Makkah sampai kabar ini sampai ke telinga Nabi. Nabi bingung karena wahyu belum turun untuk mengklarifikasi kabar ini, sementara Aisyah malu dan terpukul hingga jatuh sakit selama satu bulan.
Ketegangan di antara sahabat Nabi hampir berujung konflik sebelum akhirnya dilerai oleh Nabi. Hingga akhirnya turunlah ayat Al-Qur’an surat An-Nur ayat 11 yang mengklarifikasi isu hoaks tersebut:
إِنَّ ٱلَّذِينَ جَآءُو بِٱلۡإِفۡكِ عُصۡبَةٞ مِّنكُمۡۚ لَا تَحۡسَبُوهُ شَرّٗا لَّكُمۖ بَلۡ هُوَ خَيۡرٞ لَّكُمۡۚ لِكُلِّ ٱمۡرِيٕٖ مِّنۡهُم مَّا ٱكۡتَسَبَ مِنَ ٱلۡإِثۡمِۚ وَٱلَّذِي تَوَلَّىٰ كِبۡرَهُۥ مِنۡهُمۡ لَهُۥ عَذَابٌ عَظِيمٞ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.” (QS. An-Nur [24]: 11)
Sejak saat itu, kondisi berangsur normal dan orang-orang yang paling getol menyebarkan berita hoaks ini mendapat hukuman berupa delapan puluh kali cambukan, yaitu Misthah bin Utsatsah, Hassan bin Tsabit, dan Hamnah binti Jahsy.