Bulan Rajab mengingatkan kita pada salah satu peristiwa duka pada masa Dinasti Umayyah, yaitu wafatnya salah seorang khalifah terbaik, Umar bin Abdul Aziz. Kehidupan Umar yang jauh dari glamor kerajaan membuatnya enggan menggunakan fasilitas negara, bahkan tidak meninggalkan banyak harta untuk diwarisi putra-putranya.
Khalifah kedelapan Dinasti Umayyah ini wafat pada tanggal 25 Rajab tahun 101 H di Deir Sam’an, wilayah Provinsi Homs, Suriah. Ia meninggalkan empat belas putra. Posisinya sebagai khalifah kemudian digantikan oleh sepupunya, Yazid bin Abdul Malik.
Para ulama berbeda pendapat mengenai faktor kematiannya. Imam Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah menjelaskan bahwa penyebabnya adalah karena mengidap Tuberkulosis (TBC), salah satu penyakit mematikan. Ada pula yang mengatakan bahwa sang khalifah diracun oleh salah seorang budaknya. Ibnu Katsir menceritakan bahwa seorang budak mencampur racun pada makanan atau minuman Umar dengan bayaran seribu dinar. Sebelum meninggal, Umar bertanya kepada budak tersebut, “Apa yang mendorongmu melakukan ini?” Budak itu menjawab, “Aku dibayar seribu dinar dan dijanjikan akan dibebaskan.” Umar tidak marah, malah menyuruh budak tersebut melarikan diri agar nyawanya selamat.
Namun, sejarawan kontemporer Abdussyafi mengkritik bahwa riwayat yang mengatakan Umar dibunuh karena diracun oleh budaknya adalah dusta. Menurutnya, kematian Umar disebabkan karena dia terlalu memforsir tenaganya untuk mengurusi rakyat, sering begadang untuk mengurusi negara, serta pola makannya tidak teratur karena kesibukannya tersebut.
Menjelang wafatnya, Umar meminta untuk didudukkan dan berkata, “Duhai Tuhanku, Engkau menyuruhku beribadah, tapi aku lalai. Engkau pun melarangku berbuat dosa, tapi aku tak patuh.” Ia mengatakan demikian sampai tiga kali. “Tapi, tidak ada Tuhan selain Allah,” sambungnya. Ia menengadahkan wajahnya ke atas dengan tatapan tajam. Orang-orang di sekitarnya heran dan bertanya, “Pandanganmu begitu tajam, wahai amirul mukminin.” Umar menjawab, “Aku melihat ada yang datang, ia bukan dari bangsa manusia atau jin.” Seketika itu pula ia menghembuskan napas terakhir.
Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa menjelang kewafatannya, Umar meminta untuk ditinggal sendirian di kamar. “Keluarlah, tinggalkan aku sendiri,” pintanya. Dari luar, orang-orang mendengar Umar berkata, “Selamat datang wahai sosok (malaikat) yang bukan dari bangsa manusia ataupun jin.” Lalu ia membaca Al-Qur’an surat Al-Qashash ayat 83:
تِلۡكَ ٱلدَّارُ ٱلۡأٓخِرَةُ نَجۡعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوّٗا فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فَسَادٗاۚ وَٱلۡعَٰقِبَةُ لِلۡمُتَّقِينَ
Artinya: “Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi. Dan kesudahan yang baik itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Qashash [28]: 83)
Setelah itu suara Umar tidak terdengar lagi. Orang-orang pun masuk dan mendapati kedua matanya sudah terpejam menghadap arah kiblat.
Sebelum kewafatannya, seseorang berkata kepada Umar, “Itu mereka anak-anakmu (ada dua belas). Berilah mereka wasiat terakhir, sungguh mereka semua adalah orang-orang yang fakir.” Lantas Umar membaca Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 196:
إِنَّ وَلِـِّۧيَ ٱللَّهُ ٱلَّذِي نَزَّلَ ٱلۡكِتَٰبَۖ وَهُوَ يَتَوَلَّى ٱلصَّٰلِحِينَ
Artinya: “Sesungguhnya pelindungku ialah Yang telah menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Dia melindungi orang-orang yang shalih.” (QS. Al-A’raf [7]: 196)
“Demi Allah, saya tidak akan memberikan hak orang lain untuk anak-anakku. Tinggal mereka memilih, mau menjadi orang shalih atau sebaliknya. Jika menjadi orang shalih, maka Allah akan menjaganya. Tapi jika tidak, aku tidak akan menjamin mereka terhindar dari perbuatan maksiat,” kata Umar menandaskan.
Kehidupan Umar sangat sederhana meskipun menjabat sebagai khalifah. Ia tidak meninggalkan banyak harta warisan hingga anak-anaknya dalam keadaan fakir. Sepanjang hidupnya, Umar dikenal sebagai sosok khalifah yang zuhud dan tidak mau menggunakan fasilitas pemerintahan yang sebenarnya adalah haknya sebagai pemimpin negara.
Selain seorang yang zuhud, Umar juga dikenal sebagai sosok yang menguasai ilmu agama mendalam sampai dijuluki ‘allamah (orang yang sangat pandai) dan mujtahid (orang yang cakap berijtihad). Sejumlah ulama ternama seperti Sufyan ats-Sauri dan Jalaluddin as-Suyuti sampai menyebutkan bahwa Umar merupakan khulafaur rasyidin kelima setelah Ali bin Abi Thalib.
Imam Adz Dzahabi dalam kitabnya Siyaru A’lamin Nubala berkata tentang Umar dengan sederet gelar panjang yang menunjukkan betapa agung kedudukannya:
الإمام الحافظ العلامة المجتهد الزاهد العابد السيد، أمير المؤمنين حقًّا، أبو حفص القرشي الأموي المدني ثم المصري، الخليفة الراشد، أشج بني أمية.
Artinya: “Sang imam, sang hafidz, sang ‘allamah, sang mujtahid, sang zahid, sang ahli ibadah, sang sayyid, amirul mukminin sejati, Abu Hafsh al-Qursyi al-Umawi al-Madani al-Mishri, sang khalifah cerdas, dan Bani Umayyah yang paling dicintai.”