Dalam kehidupan sehari-hari maupun ketika berdagang, Muhammad muda selalu mematuhi prinsip kejujuran. Ia tidak pernah mengurangi timbangan atau takaran, tidak memberikan janji yang berlebihan, apalagi bersumpah palsu. Semua transaksi dilakukan dengan sukarela dan ijab kabul. Muhammad bahkan tidak pernah menggunakan nama Tuhan untuk meyakinkan kebenaran ucapannya.
Suatu ketika, Muhammad berselisih paham dengan seorang pembeli di Syam mengenai kondisi barang yang dijualnya. Pembeli tersebut meminta Muhammad bersumpah demi Lata dan Uzza. Muhammad menolak dan berkata, “Aku tidak pernah bersumpah atas nama Lata dan Uzza sebelumnya.” Kejujuran Muhammad menjadi prinsip kuat yang dipegangnya tanpa perlu melibatkan nama Tuhan. Orang akan merasakan kejujuran ini dari interaksi mereka dengan Muhammad selama berdagang.
Dalam Islam, dimensi sosial tidak bisa dipisahkan dari ibadah. Keshalehan individu menjadi bermakna jika diwujudkan dalam keshalehan sosial. Misalnya, ibadah puasa yang sangat pribadi harus diakhiri dengan zakat, yang memiliki dimensi sosial. Shalat, meski bersifat individual, diakhiri dengan salam ke kanan dan kiri sebagai simbol memperhatikan lingkungan sosial. Ini membuktikan bahwa ibadah vertikal perlu diamalkan secara horizontal untuk menciptakan kehidupan yang baik.
Seperti halnya ibadah yang dimulai dari individu, kejujuran juga harus berawal dari diri sendiri. Kejujuran memiliki dampak luas pada kehidupan, karena setiap langkah, ucapan, dan perilaku harus menjunjung tinggi kejujuran.
Dalam buku “Khutbah-khutbah Imam Besar” (2018), Prof KH Nasaruddin Umar menjelaskan bahwa Nabi Muhammad pernah menegaskan “ibda’ bi nafsik” (mulailah dari diri sendiri). Dalam Al-Qur’an juga ditegaskan “kafa bi nafsik al-yauma hasiba” (cukuplah dirimu sendiri sebagai penentu terhadapmu). Ini menggambarkan bahwa pada akhirnya, diri pribadi manusia lebih tahu apakah ia menjadi penyebab konflik karena kebohongan yang disebarkan. Apalagi di era digital sekarang, informasi mudah didapat, dibuat, dan disebarkan.
Nabi Muhammad saw mendapat julukan Al-Amin dari kaum Quraisy pra-Islam, yang berarti orang yang dapat dipercaya. Ini menunjukkan betapa jujurnya beliau hingga mendapat predikat terhormat di antara kaumnya. Kejujuran ini dimulai dari diri sendiri dan berdampak positif bagi orang lain serta lingkungan sekitarnya.