- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Teladan Rasulullah dalam Menyikapi Sunnah dan Kewajiban

Google Search Widget

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah contoh teladan dan rahmat bagi umat manusia. Setiap perilaku, sabda, pernyataan, dan sifat beliau diikuti oleh umat Islam, yang dikenal sebagai hadits atau sunnah. Terdapat perbedaan pandangan antara para ushūliyyīn dan muhadditsīn mengenai sunnah. Menurut muhadditsīn, sunnah adalah hadits yang mencakup semua yang bersumber dari Nabi, baik perilaku, sabda, pernyataan, maupun sifatnya. Sementara itu, ushūliyyīn berpendapat bahwa sunnah meliputi definisi yang sama, tetapi sifat Nabi tidak termasuk dalam sunnah. Dengan demikian, menurut ahli hadits, hadits adalah sunnah, sedangkan menurut ahli usul, hadits belum tentu merupakan sunnah.

Perbedaan ini melahirkan pengklasifikasian sunnah menjadi dua kategori: sunnah tasyrī‘iyyah (sunnah yang disyariatkan) dan sunnah ghair tasyrī‘iyyah (sunnah yang tidak disyariatkan). Sunnah yang disyariatkan bersifat mengikat, sedangkan sunnah yang tidak termasuk syariat tidak mengikat dan tidak masuk dalam hukum taklif yang lima: wajib, mandub, ibahah, haram, dan makruh.

Berkaitan dengan perilaku Nabi, setiap tindakan beliau diikuti oleh umatnya, bahkan menjadi hal yang disyariatkan dalam Islam. Oleh karena itu, Nabi sangat berhati-hati dalam bertindak. Beliau tidak ingin umatnya menanggung beban berat. Sebagai contoh, Nabi tidak melaksanakan salat tarawih selama satu bulan penuh di masjid, karena beliau khawatir jika melakukannya akan menjadikan salat tarawih sebagai kewajiban bagi umat Islam. Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa saat Nabi melihat banyak orang salat mengikuti beliau di masjid, beliau memilih untuk tidak keluar pada malam-malam berikutnya karena takut salat tersebut diwajibkan.

Nabi memahami betul bagaimana beratnya beban kewajiban bagi umatnya. Hal ini adalah sifat manusiawi, di mana manusia merasa terbebani apabila banyak kewajiban yang harus dipenuhi.

Sisi lain dari kemanusiaan Nabi terlihat ketika beliau hijrah ke Madinah dengan cara sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui oleh orang-orang Quraisy. Hijrah ini dilakukan secara bertahap; terlebih dahulu orang-orang Muslim yang hijrah, baru kemudian Nabi beserta Abu Bakar menyusul.

Berbeda dengan hijrah Umar bin al-Khattab yang dilakukan secara terang-terangan dan menantang kaum Quraisy di depan Ka’bah. Umar berangkat dengan membawa pedang dan melakukan tawaf sambil menantang siapa pun yang ingin menghadangnya. Meskipun Umar menunjukkan keberanian luar biasa, hijrah Rasulullah lebih bersifat strategis dan mempertimbangkan keselamatan umat.

Syekh Said Ramadhan al-Buthi dalam karyanya menjelaskan alasan mengapa Nabi memilih hijrah dengan cara sembunyi-sembunyi. Tindakan Umar dan orang-orang Muslim lainnya berimplikasi kepada diri mereka sendiri dan tidak menjadi hukum syariat, sedangkan perilaku Rasulullah adalah syariat yang ditetapkan untuk umatnya di kemudian hari. Nabi memilih jalan yang sesuai dengan rasio manusia pada umumnya agar tidak ada anggapan bahwa tindakan berani seperti Umar adalah suatu kewajiban.

Seandainya Nabi melakukan tindakan serupa dengan Umar, umat mungkin akan menganggap bahwa cara tersebut adalah satu-satunya yang dibenarkan dalam situasi berbahaya. Padahal Allah menegakkan syariat-Nya berdasarkan tuntutan sebab dan akibat. Semua ini terjadi dengan kehendak Allah. Wallahu a’lam.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

November 22

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?