Ketika Abrahah memutuskan untuk menyerang Makkah, ia tampil di depan pasukannya yang kuat dengan mengendarai seekor gajah besar. Suku Quraisy, yang pada saat itu dipimpin oleh Abdul Muthalib, tidak merasa mampu melawan kekuatan Abrahah.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya menjelaskan bahwa Abdul Muthalib menemui Abrahah di perkemahan sang penguasa Yaman. Namun, alih-alih melawan, Abdul Muthalib hanya meminta agar 200 ekor untanya yang dirampas oleh pasukan Abrahah dikembalikan.
Setibanya pasukan Abrahah yang dipimpin oleh Aswad bin Maqfud di Tihamah, mereka merampas harta penduduk setempat, termasuk unta milik Abdul Muthalib. Meskipun beberapa pemuka Quraisy ingin melawan, mereka akhirnya membatalkan niat tersebut karena menyadari ketidaksetaraan kekuatan.
Dalam pertemuannya dengan Abrahah, Abdul Muthalib menyatakan, “Aku pemilik unta-unta itu, sementara Ka’bah memiliki pemiliknya sendiri yang akan melindunginya.” Pernyataan ini mengecewakan Abrahah, yang beranggapan bahwa pemimpin Quraisy tidak peduli untuk melindungi Ka’bah. Ia menilai bahwa Ka’bah tidak sepenting yang dibayangkannya, karena Abdul Muthalib lebih memilih unta-untanya.
Namun, pernyataan Abdul Muthalib ternyata merupakan strategi untuk mengecoh Abrahah dan pasukannya, sehingga mereka tidak jadi menghancurkan Ka’bah. Abrahah melalui utusannya menyatakan bahwa ia tidak ingin berperang, hanya ingin menghancurkan Ka’bah. Selama tidak terjadi bentrokan, maka tidak akan ada pertumpahan darah.
Sementara itu, Abdul Muthalib terus menasihati penduduk Makkah untuk pergi ke lereng bukit agar terhindar dari pasukan Abrahah, sambil mencari tempat untuk menyaksikan apa yang akan terjadi esok hari. Di tengah Makkah yang sunyi, ketika tampaknya penghancuran Ka’bah akan berjalan dengan mudah, rencana Abrahah berakhir dengan kegagalan total.
Pasukan Abrahah tidak pernah mencapai Masjidil Haram dan gagal menghancurkan Ka’bah. Sebaliknya, mereka justru mengalami kehancuran yang dibinasakan oleh Allah SWT, sebagaimana diceritakan dalam Al-Qur’an surat al-Fil.
Dalam kisah ini, gajah yang berada di barisan terdepan diarahkan oleh pemandunya, Unays, menuju Ka’bah. Namun, ada Nufail, tawanan penunjuk jalan, yang mempelajari aba-aba gajah tersebut. Ketika Unays memberi perintah agar gajah itu bangun, Nufail justru memintanya untuk duduk berlutut. Upaya pasukan Abrahah untuk membuat gajah itu bergerak dengan cara apapun, termasuk memukul kepalanya dengan besi, tidak membuahkan hasil. Gajah tersebut tetap diam dan pasukan Abrahah tidak dapat melanjutkan perjalanan mereka.