Penduduk Makkah, melalui pemimpin mereka, Abdul Muthalib, menerima kabar bahwa kota tempat berdirinya Ka’bah akan diserang oleh Abrahah beserta pasukan bergajahnya. Pasukan yang hendak menyerbu Makkah saat itu dikenal sangat kuat. Tujuan mereka adalah untuk menghancurkan Ka’bah, tempat suci yang selalu dimuliakan oleh penduduk Makkah.
Pasukan tersebut berasal dari Yaman, yang berada di bawah kekuasaan Abessinia (sekarang Ethiopia), dan dipimpin oleh seorang panglima bernama Abrahah. Rasa iri dan dengki terhadap penduduk Makkah yang memiliki Ka’bah, yang senantiasa dikunjungi oleh pelancong dari berbagai penjuru Arab untuk berhaji maupun berziarah, menjadi latar belakang tindakan terkutuk mereka. Abrahah dan para pemimpin Abessinia ingin agar tempat ziarah itu berada di Yaman, bukan di Makkah. Untuk itu, mereka membangun gereja megah di Sana’a yang dinamakan al-Qalis dengan harapan dapat menjadi tempat ibadah haji terbesar di seluruh Arab dan menyaingi Makkah.
Martin Lings dalam bukunya menyebutkan bahwa tindakan ini mengundang kemarahan suku-suku yang tersebar di Hijaz dan Najd. Seorang anggota suku Kinanah, yang memiliki hubungan nasab dengan Quraisy, meruntuhkan gereja tersebut. Hal ini membuat Abrahah marah dan bersumpah untuk meratakan Ka’bah.
Muhammad Husain Haekal dalam karya lainnya menyatakan bahwa meskipun Abrahah telah menghiasi gereja tersebut, kenyataannya orang-orang Arab hanya berniat untuk berziarah ke Makkah. Mereka menganggap ziarah ke Ka’bah sebagai satu-satunya yang sah. Akhirnya, Abrahah memutuskan untuk menyerang Makkah dengan tampil sendiri di atas seekor gajah besar.
Namun, usaha mereka tidak membuahkan hasil karena daya tarik Ka’bah yang kuat masih mampu menarik para pelancong untuk mengunjunginya. Rasa dengki Abrahah semakin menggebu, dan dengan dipimpin langsung olehnya, pasukan besar dari Yaman, sebagian besar menunggang gajah, berbaris untuk menyerbu Kota Makkah serta menghancurkan Ka’bah.
Ketika pasukan Abrahah tiba di Mughammas, dekat Kota Makkah, mereka singgah sejenak untuk beristirahat. Abrahah mengirimkan utusan kepada Abdul Muthalib untuk memberitahu bahwa mereka akan menghancurkan Ka’bah. Mengetahui hal itu, Abdul Muthalib dan rakyatnya merasa tidak berdaya karena pasukan Abrahah sangat kuat.
Dengan perasaan sedih dan ketakutan, penduduk Makkah mulai meninggalkan tanah kelahirannya menuju bukit-bukit yang mengelilingi kota tua itu untuk bersembunyi. Sebelum pergi, Abdul Muthalib menyempatkan diri untuk ‘pamit’ ke Baitullah.
Di sana, ia berdoa dan menyerahkan pemeliharaan Baitullah sepenuhnya kepada Tuhan Yang Mahaperkasa. Doanya dituliskan dalam sebuah syair penuh harap:
“Wahai Tuhanku, Tidak ada yang kuharapkan selain dari-Mu. Wahai Tuhanku, Selamatkan rumah-Mu dari serangan mereka. Sesungguhnya mereka yang akan merusak bait-Mu, Adalah musuh-Mu.”
Doa Abdul Muthalib yang tulus itu dikabulkan oleh Allah swt. Sebelum tentara Abrahah menjamah Ka’bah, mereka disambut oleh gerombolan burung Ababil yang melemparkan bebatuan hingga mereka binasa seperti dedaunan yang dimakan ulat. Peristiwa ini diabadikan dalam Al-Qur’an Surat Al-Fil ayat 1-5.
Di tengah peristiwa penyerangan tersebut, lahir seorang anak laki-laki dari pasangan Abdullah bin Abdul Muthalib dan Aminah binti Wahab. Setelah lahir pada tahun gajah itu, Abdul Muthalib yang mendengar kabar tersebut merasa sangat gembira dan membawanya ke Ka’bah. Ia memberi nama Muhammad untuk sang cucu, sebuah nama yang tidak umum di kalangan Arab saat itu.
Abdul Muthalib, yang menyaksikan bagaimana Tuhan melindungi Ka’bah dari serangan pasukan Abrahah, memiliki harapan besar agar cucunya kelak menjadi sosok yang terpuji bagi Tuhan di langit dan bagi makhluk-Nya di bumi.