Dalam sejarah, perjalanan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam sangatlah mengesankan, terutama ketika ia dihadapkan pada ujian yang berat: mengurbankan putranya, Nabi Ismail ‘alaihis salam. Peristiwa ini terjadi setelah tragedi pembakaran Nabi Ibrahim oleh Raja Namrud. Namun, Allah menyelamatkannya dengan menjadikan api yang membakar tubuhnya sebagai dingin.
Setelah peristiwa tersebut, Nabi Ibrahim memutuskan untuk berhijrah dan meninggalkan Raja Namrud serta kaumnya. Dalam perjalanan itu, ia menikahi Siti Hajar dan dikaruniai seorang putra, Nabi Ismail, yang kelak juga diangkat menjadi nabi.
Seiring berjalannya waktu, Nabi Ismail tumbuh menjadi anak yang bertanggung jawab dan dapat membantu ayahnya. Suatu ketika, Nabi Ibrahim bermimpi bahwa ia harus mengurbankan putranya. Menurut beberapa pendapat, saat itu Nabi Ismail berusia antara tujuh hingga tiga belas tahun. Mimpi ini membuat Nabi Ibrahim bingung; ia merenungkan dan memohon petunjuk Allah. Setelah mengalami mimpi yang sama selama tiga malam berturut-turut, ia meyakini bahwa itu adalah perintah yang harus dilaksanakan.
Nabi Ibrahim kemudian memberitahukan mimpi tersebut kepada Nabi Ismail. Dalam Al-Qur’an, Allah menggambarkan perbincangan mereka:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى
Artinya, “Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, ‘Wahai anakku! Sungguh aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah bagaimana pendapatmu!’” (Surat As-Saffat ayat 102).
Menanggapi ayahnya, Nabi Ismail menjawab dengan tegas:
قَالَ ياأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَآءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Artinya, “Dia (Ismail) menjawab, ‘Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.’” (Surat As-Saffat ayat 102).
Dengan hati yang berat, Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail melangkah untuk memenuhi perintah Allah. Saat Nabi Ibrahim membawa putranya ke Mina dan membaringkannya, Nabi Ismail berkata:
يا أبت اشدد رباطى حتى لا اضطرب، واكفف عنى ثيابك حتى لا يتناثر عليها شئ من دمى فتراه أمى فتحزن، وأسرع مرّ السكين على حلقى ليكون أهون للموت على، فإذا أتيت أمى فاقرأ عليها السلام منى
Artinya, “Wahai ayahku! Kencangkanlah ikatanku agar aku tidak lagi bergerak…”
Saat mendengar permintaan anaknya yang penuh keikhlasan, Nabi Ibrahim tidak dapat menahan air mata. Namun, ia harus melaksanakan perintah Allah dengan sepenuh hati. Ia menciumnya penuh kasih sayang dan kemudian mengambil pisau untuk menyembelihnya. Anehnya, meski pisau tajam itu diletakkan di leher Nabi Ismail, ia tidak terluka. Beberapa kali diulang, pisau itu tetap tidak memberikan bekas.
Nabi Ismail meminta ayahnya untuk memalingkan wajahnya agar tidak melihat rasa iba yang mungkin menghalangi pelaksanaan perintah Allah. Namun lagi-lagi, pisau itu tidak dapat melukai putranya. Dalam momen yang menegangkan ini, Allah menurunkan wahyu-Nya:
وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ
Artinya, “Lalu Kami panggil dia, ‘Wahai Ibrahim! Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu…’” (Surat As-Saffat ayat 104).
Kisah ini menggambarkan ketulusan iman dan kepatuhan Nabi Ibrahim serta Nabi Ismail dalam mengikuti perintah Allah, meskipun itu tampak sulit diterima oleh akal. Pada akhirnya, Allah tidak menghendaki penyembelihan itu terjadi dan menggantinya dengan seekor kambing sebagai kurban.
Kambing tersebut menjadi simbol pengorbanan yang agung dan diabadikan dalam sejarah sebagai pelajaran bagi umat manusia akan pentingnya ketulusan dalam menjalankan perintah Tuhan.