Sebagai Nabi terakhir, Rasulullah Muhammad SAW mengemban misi yang sangat berat. Berbagai rintangan dan tantangan dihadapi beliau dalam menyebarkan ajaran Islam. Namun, Allah SWT senantiasa mendukung Nabi dalam menjalankan misi dakwahnya. Nabi pernah bersabda,
أدبني ربي فأحسن تأديبي
“Allah telah membimbingku dengan bimbingan yang sempurna.”
Salah satu cara Allah membimbing Nabi adalah melalui perjalanan Isra’ Mi’raj, yang terjadi menjelang hijrah ke Madinah. Perjalanan malam yang agung ini penuh dengan hikmah dan makna mendalam.
Sebelum melakukan Isra’ Mi’raj, Nabi sudah melalui berbagai cobaan yang membentuk karakter beliau yang tangguh. Dalam sejarah Nabi SAW, seperti yang dituliskan dalam kitab Sirah Nabawiyah oleh Ibnu Hisyam, Rahiq al-Makhtum oleh Safyurrahman al-Mubarakfuri, dan Sirah Nabawiyah Durus wa ‘Ibar oleh Musthafa as-Siba’i, fase kehidupan Nabi di Mekah dipenuhi dengan tekanan dan penindasan.
Nabi Muhammad mengalami kehilangan orang-orang terkasih sejak kecil. Ayah beliau meninggal sebelum lahir, ibunda tercinta wafat saat beliau berusia enam tahun, dan kakek yang merawatnya juga pergi di usia delapan tahun. Setelah itu, paman beliau yang merawatnya juga meninggal. Kepergian Khadijah, istri tercinta yang selalu mendukungnya, juga menambah beban kesedihan beliau, terutama saat menerima wahyu pertama.
Para sejarawan menyebut tahun-tahun ketika orang-orang terkasih Nabi meninggal sebagai tahun kesedihan (‘amul huzni). Beban yang ditanggung Nabi tidak hanya karena kehilangan orang-orang tercinta, tetapi juga penindasan dari kaum Quraisy yang merasa terancam oleh ajaran baru yang dibawanya. Bahkan, beberapa kali nyawa Nabi terancam.
Safyurrahman al-Mubarakfuri mencatat model-model penindasan yang digunakan kaum Quraisy untuk melumpuhkan misi dakwah Nabi. Dalam karya monumentalnya, Rahiq al-Makhtum, ia menjelaskan berbagai bentuk penganiayaan yang dialami oleh Nabi dan umatnya di Makkah. Contohnya, Abu Lahab, salah satu musuh Islam yang paling kejam, selalu menguntit Rasulullah di pasar dan saat musim haji, bahkan memukul beliau hingga berdarah.
Istri Abu Lahab, Ummu Jamil, juga tidak kalah jahat. Ia sering mencaci maki dan menyebar fitnah terhadap Nabi serta memasang duri di jalan yang biasa dilalui oleh beliau. Al-Quran menyebutnya sebagai Hammalah al-Hatab (wanita pembawa kayu bakar).
Setelah melewati berbagai cobaan dan kesedihan, Allah SWT memberikan kesempatan bagi Nabi untuk merenung dan bersantai melalui peristiwa Isra’ Mi’raj. Dalam peristiwa ini, Nabi dipertemukan dengan nabi-nabi terdahulu, diperlihatkan hal-hal gaib, dan pada puncaknya, beliau bertemu langsung dengan Rabb-Nya tanpa penghalang.
Dr. Ali Muhammad as-Shallabi menjelaskan bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj ini merupakan tanda penghormatan Allah atas kesabaran dan perjuangan Nabi. Dalam pertemuan tersebut, Nabi menjadi imam bagi nabi-nabi lainnya dan mendapatkan pengalaman spiritual yang mendalam.
Setelah 13 tahun berdakwah di Makkah dengan segala tantangannya, Nabi dan para pengikutnya siap untuk melanjutkan misi di Madinah. Dr. Ali Muhammad as-Shallabi mencatat bahwa pengalaman dakwah di Makkah telah membentuk karakter kuat bagi Nabi dan para pengikutnya.
Dengan bekal pengalaman tersebut, Nabi bersama umat Muslim lebih siap menghadapi tantangan baru di Madinah. Safyurrahman al-Mubarakfuri mengklasifikasikan tiga tahapan dakwah di Madinah: pertama, fase ketidakstabilan dan masalah internal; kedua, gencatan senjata dengan para pemimpin Kaum Paganis yang diakhiri dengan penaklukan Makkah; dan ketiga, fase banyaknya orang yang masuk Islam hingga wafatnya Nabi.
Perjalanan dakwah Nabi Muhammad penuh dengan liku-liku yang mengajarkan kita tentang ketahanan dan keimanan dalam menghadapi cobaan hidup.