Di tengah masyarakat, masih ada individu yang memiliki idealisme seperti Sayidina Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat Nabi Muhammad SAW yang dikenal karena kejujuran, ketegasan, amanah, dan kepentingan orang lain yang diutamakannya di atas ambisi pribadi dan kelompok. Terutama dalam pengelolaan negara dan birokrasi yang berada di bawah naungannya, idealisme seperti ini sangat dibutuhkan.
Sayangnya, kenyataan yang ada sering kali hanya praktik oligarki kekuasaan. Praktik ini melanggengkan kepentingan segelintir orang atau kelompok tertentu, bukan masyarakat luas. Dalam pengelolaan negara dan birokrasi, yang seharusnya bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat, justru terjebak dalam upaya mempertahankan kepentingan kelompok kecil di dalam partai politik. Tak jarang, setelah kekuasaan diraih, perhatian mereka beralih pada langkah-langkah untuk mempertahankan kekuasaan di periode berikutnya.
Kondisi ini menciptakan situasi di mana negara dikuasai oleh sekelompok kecil individu yang memiliki basis kuasa dalam bidang ekonomi dan media. Gerakan civil society yang seharusnya memiliki peran penting dalam pengelolaan negara malah sering kali dipinggirkan, sehingga hanya dijadikan lumbung suara di pemilihan umum. Ini adalah salah satu contoh praktik oligarki dalam politik Indonesia.
Praktik oligarki ini terlihat jelas dalam pengelolaan ibu kota negara, Jakarta. Bagaimana mungkin kursi wakil gubernur dibiarkan kosong selama lebih dari satu tahun, padahal perannya sangat vital dalam melayani masyarakat? Tawar-menawar politik antarpartai pengusung yang tak kunjung mencapai kesepakatan membuat masyarakat menjadi korban. Di sini terlihat jelas bahwa kepentingan kelompok lebih diutamakan daripada kepentingan masyarakat secara luas.
Permasalahan serupa juga terjadi pada tingkat pengelolaan negara. Dalam sejarah, paradigma Machiavellian menunjukkan bahwa negara sering menggunakan segala cara untuk mengamankan kekuasaan dan otoritasnya melalui berbagai instrumen: modal, media, dan legitimasi institusi ilmu pengetahuan.
Situasi semakin rumit ketika negara bersekutu dengan kelas oligarki. Dalam konteks Indonesia, hal ini telah terjadi sejak era Orde Baru dan masih memiliki sisa-sisa hingga kini di era reformasi. Di era reformasi, sosok idealisme seperti sahabat Abu Bakar pun akhirnya ‘membusuk’ karena terjerat dalam kepentingan kelompok oligarki dan oknum-oknum yang mengabdi pada kekuasaan.
Abu Bakar dikenal sebagai sosok yang selalu berkata benar, sehingga dijuluki ash-shiddiq (orang yang jujur). Ia sangat amanah dalam mengemban tugas dan tanggung jawab yang diberikan. Selama masa kepemimpinannya sebagai khalifah, ia selalu memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Gaya hidupnya sederhana, tanpa memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi maupun keluarganya.
Dikisahkan, menjelang akhir hayatnya, Khalifah Abu Bakar memanggil putrinya, Sayyidah Aisyah, untuk menyampaikan wasiat. Ia mengatakan, “Wahai Aisyah putriku, aku telah diserahi urusan kaum Muslimin. Aku hidup dengan makanan dan pakaian yang sederhana. Harta kaum Muslimin yang tersisa padaku hanya seekor unta, seorang pelayan rumah tangga, dan sehelai permadani usang. Jika aku wafat, kirimkan semuanya kepada Umar bin Khattab. Aku tidak ingin menghadap Allah dengan harta kaum Muslimin di tanganku, walaupun sedikit.”
Setelah dua tahun memimpin kaum Muslimin di tengah tantangan berat sebagai pengganti pertama Rasulullah (Khalifatur Rasul), Abu Bakar pun mendekati ajalnya. Sebelum wafat, ia berwasiat untuk dimakamkan di samping makam Rasulullah. Pada 23 Agustus 634 Masehi, Abu Bakar Ash-Shiddiq wafat. Ia menjalani masa kepemimpinan yang singkat namun penuh tantangan dalam sejarah awal Islam pasca Rasulullah SAW.