“Alangkah bencinya apa yang ku lihat darimu sekarang wahai Khadijah, dan sungguh terkadang Allah jadikan dalam kebencian banyak kebaikan,” kata Nabi Muhammad ketika Sayyidah Khadijah wafat.
Pemboikotan ekonomi dan sosial oleh kaum kafir Quraisy terhadap Nabi Muhammad dan keluarganya telah memberi dampak signifikan pada kesehatan Sayyidah Khadijah. Selama tiga tahun, mereka mengalami kekurangan makanan dan minuman, menghadapi pembatasan gerak, pengucilan, serta larangan-larangan lainnya. Di samping itu, usia Sayyidah Khadijah yang tidak muda lagi juga turut mempengaruhi kondisinya.
Kesehatan Sayyidah Khadijah semakin menurun setelah semua yang terjadi. Badannya semakin lemas akibat sakit yang dideritanya. Tidak ada riwayat yang menyebutkan jenis penyakit yang mengakibatkan wafatnya Sayyidah Khadijah. Di tengah keadaan tersebut, sebagaimana diuraikan Ibrahim Muhammad Hasan al-Jamal dalam bukunya, Sayyidah Khadijah hanya berdzikir kepada Allah, meminta ampunan-Nya, serta mengharapkan ridha dan rahmat-Nya, sambil mengosongkan hatinya dari hal-hal duniawi.
Sementara itu, Nabi Muhammad setia mendampingi istri tercintanya yang terbaring sakit. Tidak ada kata-kata lain yang keluar dari mulut beliau kecuali doa-doa kebaikan untuk Sayyidah Khadijah. Ketika ajalnya semakin dekat, orang-orang terdekatnya hadir untuk meringankan pertemuannya dengan Allah.
Akhirnya, Sayyidah Khadijah menghembuskan nafas terakhir di hadapan Nabi Muhammad pada hari kesepuluh bulan Ramadhan tahun kesepuluh Nubuwah. Saat itu, Sayyidah Khadijah berusia 65 tahun dan Nabi Muhammad 50 tahun. Seperti manusia pada umumnya, Nabi Muhammad tidak dapat menahan air matanya saat ditinggal orang terkasih. Terlebih lagi, beliau sangat membutuhkan kehadiran Sayyidah Khadijah sebagai penyeimbang dan pendukung setia dalam menyebarkan dakwah Islam di tengah penolakan dan penganiayaan dari kaum kafir Quraisy.
Kabar wafatnya Sayyidah Khadijah segera menyebar ke seluruh penjuru Kota Makkah. Banyak orang bersedih mendengar berita tersebut, mengenang akhlak dan sifat baik Sayyidah Khadijah yang cerdas, lembut, dan suka membantu. Penduduk Makkah serta kabilah sekitar berbondong-bondong datang untuk memberikan penghormatan terakhir.
Nabi Muhammad sendiri turun ke liang lahat untuk menguburkan Sayyidah Khadijah. Sambil melafalkan doa-doa, beliau meletakkan jenazah istrinya di tempat peristirahatan terakhir. Kesedihan jelas terlihat di wajah Nabi Muhammad yang kehilangan istri tercintanya.
Kepergian Sayyidah Khadijah menambah kesedihan Nabi Muhammad, terutama karena beberapa bulan sebelumnya, Abu Thalib—paman yang menjadi pelindung beliau dalam dakwah—juga telah wafat. Tahun wafatnya Abu Thalib dan Sayyidah Khadijah dikenal sebagai Tahun Kesedihan (‘Am al-Huzni). Kesedihan ini bukan berarti Nabi Muhammad berduka sepanjang tahun, melainkan kehilangan dua tokoh pendukungnya membuat banyak peluang dakwah Islam semakin tertutup.
Setelah kepergian Sayyidah Khadijah, rumah Nabi Muhammad terasa sunyi. Suasana duka cita meliputi lingkungan rumahnya. Dalam waktu cukup lama setelah itu, Nabi Muhammad tidak menikah lagi karena merasa tidak ada perempuan yang setara dengan Sayyidah Khadijah.
Khawatir akan keadaan Nabi Muhammad yang hidup sendiri, Khaulah—saudara Sayyidah Khadijah—menyarankan agar beliau menikah lagi untuk mendapatkan pendamping hidup. Khaulah merekomendasikan dua nama: Saudah binti Zam’ah dan Aisyah binti Abu Bakar. Nabi Muhammad setuju dan akhirnya menikahi keduanya.
Meskipun sudah menikah dengan perempuan lain, posisi Sayyidah Khadijah tetap istimewa di hati Nabi Muhammad. Beliau terus mengenang dan menghormati segala hal yang berkaitan dengan Sayyidah Khadijah, mulai dari barang-barang miliknya hingga orang-orang yang pernah berinteraksi dengannya.